Senin, 26 Januari 2009

Pejuang Gaza.... pahlawan

Pejuang Gaza.. Para Pahlawan di Medan Perjuangan
Tsaqafah Islamiyah
26/1/2009 | 28 Muharram 1430 H | 43 views
Oleh: Al-Ikhwan.net
Kirim Print
Jundullah "HAMAS" siap berjuang untuk mendapatkan dua kebaikan dunia dan akhirat "Menang atau syahadah"

Jundullah "HAMAS" siap berjuang untuk mendapatkan dua kebaikan dunia dan akhirat "Menang atau syahadah"

penerjemah:

Abu Ahmad

- Abu Al-Izz menunggu selama 9 hari berturut-turut untuk menghadapi mesin perang Zionis

- Asy-Syahid Ar-Riifi menawan seorang tentara Zionis lalu keduanya diserang oleh pesawat Zionis sehingga keduanya mati

- Abu Naif berhadapan dengan Zionis dan ketika dirinya tampak diahdapan mereka (tentara zionis) lari ketakutan

- Abu Ubaidah: kami telah menghancurkan 10 tank tanpa dipantau oleh pesawat-pesawat tempur

Mereka adalah para pejuang yang mengorbankan jiwa untuk melawan agresi Zionis terhadap Jalur Gaza, sekalipun kemampuan mereka tidak seimbang bahkan jauh dari persenjataan yang dimiliki oleh Zionis seperti pesawat tempur, mobil tank lapis baja, bom cerdas, roket dan rudal jarak jauh serta alat perang besar lainnya.

Namun mereka tidak mengenal kata menyerah, dan tidak ada dalam kamus mereka kata-kata kalah… karena mereka mencari satu dari dua kebaikan: “Menang atau Syahadah”.

Tim (Ikhwan online) saat melakukan kunjungan ke sekitar pinggiran distrik Al-Tuffah sebelah timur Gaza - di mana sayap militer pejuang Palestina menghadapi perang yang begitu sengit dan keras sehingga mampu memberikan kepada musuh pelajaran yang tidak akan pernah terlupakan – kami bertemu dengan seorang pejuang yang bernama “Abu Al-Ezz,” salah satu pejuang brigade al-Qassam; dimana beliau masih terus memantau di dalam salah satu kavaleri - yang sebelumnya telah dipraktekkan – berbagai pergerakan memantau sebagian penarikan pasuan dan alat perang dari jauh. .

Rasa lelah dan letih bercampur dengan kebanggaan akan sebuah kemenangan dan ketegaran tampak jelas di wajahnya; berdiri tegak dengan penuh kewibawaan tampak diwajahnya saat keluar dari kavalerinya untuk menemui kami dengan berpakaian militer, dengan kepala yang dihiasi slayer berwarna hijau bertuliskan kalimat tauhid yang penuh dengan keringat.
Gaza; markaz kekuatan umat Islam

Gaza; markaz kekuatan umat Islam

Mujahid Abu Al- Ezz tidak ragu –sebagaimana yang disampaikan pada kami di awal ceritanya – dalam membidik sasaran pada salah satu mobil tank lapis baja yang terkonsentrasi di pinggiran distrik al-Tuffah sebelah timur Kota Gaza, meskipun intensitas bombardir dari berbagai jenis pesawat terbang Zionis di langit Jalur Gaza terus meningkat, dengan berdiri tegak untuk menembak dan menghancurkan mobil tersebut menggunakan dua roket (RPG) secara berturut-turut, dan dengan izin Allah dapat mengenai sasaran ; sehingga memancarkan lampu kilat yang begitu terang dan membunuh tentara yang ada di dalamnya kemudian setelah itu kembali ke pangkalan nya dengan selamat, santai dan tenang dan siap untuk melakukan putaran selanjutnya.

Sejak dimulainya agresi Zionis atas Jalur Gaza yang mengakibatkan lebih dari 7000 orang yang syahid dan cedera, di samping adanya program penghancuran bangunan dan infrastruktur; namun Abu Al-Izz (salah satu anggota brigade Al-Qassam untuk sayap bersenjata dari Hamas –unit tameng) – dan para mujahidin lainnya- tidak ragu dalam mendeklarasikan status peringatan dan kesiapan untuk mengusir Zionis yang telah melakukan invasi.

Maka ketika jarum jam menunjukkan angka nol dan terdengar perangkat mesin militer Zionis mulai bergerak menuju kota Jalur Gaza, Abu Ezz mulai bertolak pergi ke tempat khusus untuk melakukan “penyerangan” balik, yang telah disiapkan sebelumnya sesuai dengan rencana dan strategi pertahanan yang diatur oleh sayap militer Palestina pada garis perlawanan Jalur Gaza sebagai antisipasi agresi darat Zionis.

Satu minggu berada di bawah tanah
Pesawat Zionis mengintai setiap benda yang bergerak

Pesawat Zionis mengintai setiap benda yang bergerak

Adapun pusat penyerangan yang merupakan terowongan bawah tanah memiliki luas satu setengah meter, di mana beliau menggunakan penutup kepala dan menggunakan kamuflase berwarna hijau daun pohon.

Selama satu minggu penuh dan berkesinambungan berada di garis pertahanan yang di lakoni oleh Abu Ezz - seperti yang diceritakan – sendirian berada di semak belukar dan pertahanan tersebut; dengan perbekalan makanan dan air yang sedikit menunggu momen penting untuk bertemu dengan musuh, sementara lidahnya terus berdoa agar Allah berkenan memberikan kemenangan dan kejayaan kepada para mujahidin, dan memaafkan kesalahan mereka, meluruskan lemparan dan memenangkan mereka atas para tentara Zionis.

Beliau juga menceritakan kepada (Ikhwan Online) tentang tugas yang dibebankan kepadanya telah menunjukkan tanda-tanda kemenangan dan kejayaan, dan berkata: “Selama sembilan hari dan sembilan malam berada dalam posko penyerangan untuk memantau pergerakan mesin perang dan tank-tank lapis baja terkonsentrasi di Jabal Al Rayyes bagian Timur Gaza sebelum melaksanaan tugas yang ditaklif kepada saya; yaitu dengan mengejutkan tank-tank lapis baja dengan serangan roket ( RPG), beliau menambahkan: ” Saya bergabung dengan kelompok istisyhadiyah, dengan penuh kesiapan dan selalu melakukan komunikasi dengan komandan, sambil menunggu saat-saat penting. “Akhirnya, setelah satu setengah minggu dalam penantian mulailah pesawat-pesawat Zionis dengan berbagai jenisnya membakar dan menghancurkan semuanya baik tanah yang hijau dan kering dan membuka jalan; sebagai persiapan untuk masuknya puluhan tank dan kendaraan lapis baja ke Jabal Rayyes diiringi dengan lontaran roket dan missil.

Sambil mencium senjata (RPG) nya Beliau menambahkan: “Seakan-akan Allah menjawab doa saya; di mana puluhan mobil-mobil tank dan truk-truk pengangkut tentara mulai maju sambil diselimuti oleh serangan yang intensif dan bom asap untuk mengaburkan pemantauan pasukan yang tersebar di berbagai tempat.”

Pasukan dari langit
Kerugian atas zionis; mesin perang hancur dan tentara yang mati

Kerugian atas zionis; mesin perang hancur dan tentara yang mati

Beliau menambahkan, sambil menunjuk pada tempat yang menjadi pusat mesin perang Zionis: “Setelah tentara Zionis melaju dengan mobil-mobil tank dengan penuh hati-hati dan terkonsentrasi pada beberapa ratus meter dari tempat saya, dan setelah terasa nyaman akan kosong nya kawasan tersebut dari pasukan Mujahidin; secara tiba-tiba saya melakukan penyerangan, walaupun intensitas serangan udara begitu banyak dengan menggunakan roket (RPG) pada salah satu mobil tank yang paling dekat, dan saya menghancurkannya dengan dua roket (RPG) secara berturut-turut setelah sebelumnya saya membaca ayat Allah:

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”. (Al-Anfal:17)

Dia sempat terkejut dan langsung mengeraskan suaranya oleh dampak reaksi yang terjadi: “Saya tidak percaya terhadap apa yang Saya saksikan .. adanya api yang langsung menghanguskan tank tersebut, suara dan teriakan pasukan penjajah yang ada di dalamnya terdengar begitu keras, dan aku melihat beberapa mayat bergelimpangan di tempat tersebut seakan aku telah menyerangnya dengan puluhan roket”.

Akhirnya Abu Ezz mampu - seperti yang ditunjukkan –mundur dengan santai dan tenang tanpa ada pesawat musuh yang mengintainya, dia menambahkan: “seakan-akan Allah memberikan perlindungan kepada saya dari berbagai arah dan penjuru.”

Akhirnya beliau menutup ceritanya dengan berkata: “Saya sadar, jika Allah tidak berkenan melindungi saya dan adanya bala tentara yang turun saat itu, maka saya tidak akan berhasil menunaikan tugas dengan maksimal,” dan akhirnya beliau sebagai saksi hidup menyatakan bahwa kemenangan adalah milik warga Gaza dan Hamas, dan Beliau juga berkata: “Allah tidak melupakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan selalu berdzikir, dan segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam”.

Serangan dengan cara memotong jalan
Pulanglah kalian dengan penuh kehinaan

Pulanglah kalian dengan penuh kehinaan

Mahmud Ar-Riifi salah satu anggota dari kelompok “martir ghost” .. Tetap bertahan selama dua hari dua malam berada dalam persembunyiannya; dengan membawa makanan seadanya dari buah kurma dan air, sementara di tangan kanannya memegang senjata, dan di tangan kiri nya menggenggam alat komunikasi elektronik untuk dapat selalu berkomunikasi dengan teman-temannya dan komandannya, dan dia sendiri menunggu untuk bertemu musuh sambil harap dan cemas; namun lisannya selalu mengumandangkan doa dengan berharap Allah berkenan mengalahkan musuh dan membunuhnya.

Salah seorang pimpinan brigade al-Qassam berkata: “Setelah 48 jam menunggu sendirian di parit yang luasnya tidak lebih dari dua meter; akhirnya Ar-Riifi mampu mengejutkan sekelompok tentara Israel di Jabal Rayes, sebelah timur Kota Gaza, dan beliau sendiri yang menghadapi mereka, yang mana, dirinya tidak hanya membawa apa-apa kecuali satu senjata, namun mampu membunuh dua tentara dari mereka dan melukai yang lainnya. “

Dia menambahkan: “Sebagaimana pula Ar-Rifi berhasil menawan seorang tentara yang dibawa dengan ketiaknya dan bersegera kembali ke tempatnya semula, namun pengintaian pesawat menimpa dirinya dan melontarkan tembakan atasnya dan tentara Zionis yang ditawannya sehingga keduanya tewas oleh tembakan peluru Zionis. Dan selama melakukan penyerangan, Ar-Riifi mampu membuat mereka ketakutan, sehingga diantara mereka mulai cemas, frustasi dan menangis, bahkan berteriak histeris seakan spirit mereka telah runtuh, seakan malaikat menimpakan ketakutan ke dalam jiwa mereka.

Adapun seorang mujahid lainnya bernama “Abu Nayef ” dari Brigades Al-Qassam, adalah sosok prajurit yang keluar bersama teman-temannya sambil memegang senjata di tangannya, dan peluncur (RPG) di belakangnya, dan roket yang menggunakan tangan berada di posko militer, namun dengan penuh azimah dan keimanan, dirinya rindu bertemu musuh sehingga membuat panas di dalam dirinya, guna dapat membalas darah anak-anak yang syahid dan beliau juga merasa trenyuh dengan berbagai tangisan dan keluhan yang keluar dari mulut-mulut wanita Gaza.

Bersama tiga rekannya Abu Nayef -yang saat ini sedang berbaring di rumah sakit- menyebar - sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang komandan lapangan brigade – di sekitar salah satu rumah di distrik al-Tuffah bagian timur Gaza, dan dari kejauhan mulai tampak mobil-mobil tank pertama mendekati rumah; dan muncullah serangan pertama secara tiba-tiba tanpa ada pendahuluan sama sekali.

Serangan tiba-tiba

Akhirnya Abu Nayef berhasil menghancurkan selah satu mobil tank dengan roket (RPG), sehingga peluru pun meluncur di setiap tempat dan berubah menjadi medan perang.

Dan sungguh, ketika matanya yang terus terjaga dalam kondisi perang, menyaksikan sebuah roket menimpa sebuah apartemen yang jaraknya tidak jauh darinya kecuali beberapa meter saja, sehingga api pun berkobar di dalamnya, lalu Abu Nayef merunduk dan dengan pandangan matanya pula dirinya menyaksikan api berkobar dengan kuat kemudian menghilang secara tiba-tiba, lalu berkobar lagi namun kemudian hilang kembali dengan penuh ketakjuban, seakan para malaikat menjaga tempat tersebut.

Abu Tsaer, salah seorang pimpinan brigade juga menambahkan akan cerita Abu al-Nayef: “Dengan penuh kegeraman Abu Nayef menyerang sebuah mobil tank dengan missil; sehingga berkobar api dengan keras… dan kami mendengar ada teriakan dari para tentara yang berada di dalam mobil tank yang hancur tersebut..terdengar permintaan tolong dan erangan kesakitan dan tangisan, namun dirinya telah berazam dengan kuat sehingga tetap menyerang dengan salah satu roket untuk menghncurkan badan mobil tank sambil melontarkan peluru ke arah tentara yang ada di dalamnya sementara suara mereka begitu keras keluar dari dalam mobil tersebut dan jari-jari mereka terbelenggu oleh senjata yang ada ditangan mereka dan yang lainnya menggenggam kendali mobil seakan mereka tidak mampu untuk keluar kecuali secara paksa”.

Abu Tsaer mengatakan bahwa sejumlah sahabat Abu Nayef syahid karena terkena tembakan tank; ada yang luka pada lengannya dan membuat jatuh senjata yang ada ditangannya”.

Dia juga menambahkan: “Ia jatuh ke tanah sementara dirinya tidak mampu bergerak ke samping tembok suatu rumah, dan mobil-mobil tank tersebar di berbagai tempat namun tentara Zionis yang ada dalam tank tersebut takut untuk keluar meskipun serangan telah dihentikan, seakan Allah berkehendak untuk tidak mengindahkan prajurit tersebut seakan mereka mengira dirinya telah mati.”

Dia menyatakan bahwa Abu Nayef tetap tidak berubah selama tiga hari sampai pasukan penjajah ditarik mundur pada posisinya di tempat yang dikuasai oleh serangan pasukan pejuang.

Serangan yang jitu

Abu Ubaidah, salah satu pimpinan lapangan pasukan pejuang di bagian timur distrik Az-Zaitun Kota Gaza; beliau dan teamnya juga menunggu-nunggu kesempatan yang tepat untuk memancing mobil-mobil tank dan mesin perang Zionis masuk ke wilayahnya, sementara lisan-lisan mereka tidak berhenti berdoa kepada Allah agar diturunkan tentara dari langit, sehingga tiba-tiba dan tanpa peringatan muncul kabut tebal di wilayah tempat mereka tinggal.

Dengan demikian memungkinkan Abu Ubaidah dan teamnya menyelusup menuju puluhan mobil tank dan menanam perangkat bom peletus di dekatnya kemudian kembali tanpa dapat diintai oleh pesawat terbang pengintai di udara, dan pada saat waktu gelap beralih menjadi terang, tidak terdapat seorang pun dari prajurit musuh yang berada di mobil tank tersebut.

Abu Ubaidah dengan nada kemenangan mengatakan: “kita dapat meledakkan semua perangkat peledak yang ada di dekat mobil tank, dan sekelompok tentara musuh yang berjalan, dan berhasil membunuh 5 personil dan melukai puluhan lainnya.”

Pada gilirannya, Abu Ayyash salah seorang anggota Brigades pasukan pejuang berkisah tentang rincian elaborasi penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok Qassam khususnya di Jabal al-Rais.

Dia mengatakan bahwa kelompok bersenjata dari pasukan syuhada menyebar bom ranjau darat anti personil dan senjata mesin berat yang tersembunyi di antara pohon-pohon yang terdapat di Jabal Rayes, setelah berhasil menanam tanah dengan peledak jarak jauh jauh.

Dia menambahkan: “Setelah satu setengah hari menunggu datangnya pasukan khusus Israel yang disertai sekelompok mobil-mobil tank mulai tampak maju; melewati tanah yang dipasangkan ranjau dan peledak dengan detonated jarak jauh dan kemudian berhasil menghancurkan mobil-mobil tank dan membunuh personel yang ada di dalam nya.”

Dia mengatakan bahwa pasukan pejuang telah mempersiapkan bahan lain yang lebih baru; di mana mereka berhasil meledakkan bom anti-personil atas pasukan khusus milik Israel, dan mengatakan: “Kami mendengar ada teriakan dan permintaan tolong dari para tentara Zionis, dan kami melihat sejumlah personel yang mati pada shaf mereka, akibat terkena pesawat Zionist yang mengincar setiap lokasi dan mengintai setiap sesuatu yang bergerak; mengakibatkan pasukan pejuang yang cedera.

Operasi penyelamatan

Disebutkan bahwa setelah dipastikan dua pasukan pejuang masih dalam keadaan hidup; pimpinan pasukan brigade Al-Qassam memutuskan untuk menyelamatkan keduanya.
1. Fadhilah Surah Ali Imran :

عن أَبي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ

Telah menceritakan padaku Abu Umamah Al-Bahiliy R.A berkata : Aku mendengar Nabi SAW bersabda : “Bacalah oleh kalian semua Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari Kiamat nanti sebagai pembawa syafaat bagi para pembacanya, bacalah oleh kalian semua “Dua yang Bersinar” (yaitu) Al-Baqarah dan Ali Imran, maka ia akan datang pada Hari Kiamat nanti bagaikan 2 naungan, atau bagaikan 2 awan, atau bagaikan 2 belahan burung dari angkasa yang menghalangi para pembacanya (dari api neraka –pen). Bacalah oleh kalian surah Al-Baqarah karena barangsiapa yang mengambilnya akan dilimpahkan berbagai kebaikan dan barangsiapa yang meninggalkannya akan ditimpa kerugian, dan tidak ada Al-Bathlah yang mampu mencelakakannya.” Berkata Mu’awiyah : Telah disampaikan kepadaku bahwa makna Al-Bathlah yaitu Tukang-tukang Sihir/Guna-guna [1]

عَنِ النَّوَّاسَ بْنَ سَمْعَانَ الْكِلَابِيَّ يَقُولُا : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يُؤْتَى بِالْقُرْآنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ تَقْدُمُهُ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَآلُ عِمْرَانَ وَضَرَبَ لَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَمْثَالٍ مَا نَسِيتُهُنَّ بَعْدُ قَالَ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ ظُلَّتَانِ سَوْدَاوَانِ بَيْنَهُمَا شَرْقٌ أَوْ كَأَنَّهُمَا حِزْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ صَاحِبِهِمَا

An-Nawwas bin Sam’an Al-Kilabiy berkata : Aku mendengar Nabi SAW bersabda : “Akan diberikan Al-Qur’an kepada para pembacanya di Hari Kiamat, yaitu orang-orang yang mengamalkannya, didahului oleh surah Al-Baqarah dan Ali Imran, maka Nabi SAW membuat 3 perumpamaan yang tak akan dilupakan setelahnya, beliau SAW bersabda : “Kedua surah itu laksana 2 awan, atau 2 naungan gelap yang di antara keduanya ada cahaya, atau 2 belahan burung besar yang menjaga dan menghalangi para pembacanya (dari api neraka –pen).” [2]

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَقُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطُرِحَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وِسَادَةٌ فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي طُولِهَا فَجَعَلَ يَمْسَحُ النَّوْمَ عَنْ وَجْهِهِ ثُمَّ قَرَأَ الْآيَاتِ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ آلِ عِمْرَانَ حَتَّى خَتَم

Dari Ibnu Abbas RA berkata : Aku menginap di rumah bibiku Maimunah, aku berkata : Aku mau melihat shalat malamnya Nabi SAW, maka ku intip Nabi SAW saat beliau SAW tidur, beliau SAW tidur pd waktu yang panjang dari malam itu, setelah kantuk hilang dari wajahnya maka beliau SAW membaca 10 ayat di akhir surat Ali Imran sampai selesai [3]

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ

Dari Hudzaifah RA berkata : Aku shalat (qiyam al-layl –pen) berjamaah[4] bersama Nabi SAW di suatu malam, maka beliau SAW membukanya dengan membaca surah al-Baqarah, maka aku berkata (dalam hati –pen) : Nampaknya beliau SAW akan ruku’ [5]

setelah membaca 100 ayat, tetapi beliau SAW terus melanjutkan bacaannya, maka aku berkata lagi : nampaknya beliau SAW akan membaca seluruh surah al-Baqarah dalam 1 rakaat, tetapi beliau SAW terus melanjutkan dengan membaca surat An-Nisa’, lalu dibaca seluruhnya, lalu beliau SAW membaca surat Ali Imran dan dibaca seluruhnya[6], beliau SAW membacanya dengan perlahan-lahan, setiap bertemu dengan ayat tasbih beliau SAW bertasbih dulu dan setiap bertemu dengan ayat pertanyaan maka beliau SAW bertanya, dan setiap beliau SAW bertemu dengan ayat perlindungan beliau SAW memohon perlindungan dulu[6], lalu beliau SAW ruku’… [7]

اسْمُ اللهِ الأَعْظَمِ فِي سُوَرٍ مِنَ الْقُرْآنِ ثَلاَثٍ : فِي الْبَقَرَةِ وَ آلِ عِمْرَانِ وَ طَهَ

Nama-nama ALLAH yang paling agung dalam Al-Qur’an ada di 3 tempat : Di surah Al-Baqarah, Ali Imran dan Thaha

Minggu, 18 Januari 2009

FROM YAHOO

JERUSALEM – The Israeli army says it has begun withdrawing its troops from Gaza after ending a three-week offensive in the territory.

The move comes shortly after Gaza's Hamas rulers announced a one-week cease-fire.

The Israeli military would not say how many troops it is pulling out. But tanks were rolling out early Sunday and smiling infantry soldiers were seen walking toward the border.

Israel announced a unilateral cease-fire late Saturday. It says it will keep at least some troops in Gaza while arrangements are made to prevent Hamas from rearming.

THIS IS A BREAKING NEWS UPDATE. Check back soon for further information. AP's earlier story is below.

GAZA CITY, Gaza Strip (AP) — Hamas offered Israel an immediate weeklong truce Sunday, hours after Israel silenced its guns and grounded its aircraft, but the Islamic militant group conditioned long-term quiet on a complete Israeli withdrawal from the territory.

Militant rockets peppered southern Israel ahead of the Palestinian truce offer, threatening to re-ignite three weeks of violence that killed more than 1,200 Palestinians — more than half of them civilians, Gaza officials said — and turned the streets of Hamas-ruled Gaza into battlegrounds.

In Gaza, Palestinians loaded vans and donkey carts with mattresses and ventured out to see what was left of their homes after Israel's punishing air and ground assault. Bulldozers shoved aside rubble in Gaza City to clear a path for cars. Medical workers sifting through mounds of concrete said they recovered 100 bodies amid the debris.

Israel mounted the offensive three weeks ago to halt years of rocket attacks, but despite the latest barrage, the government spokesman said Israel's cease-fire offer stood. Thirteen Israelis died during the offensive, including four killed by rocket fire.

"We will honor our cease-fire as we said last night and will only act to defend ourselves if we see Hamas provocation," the spokesman, Mark Regev, said in response to the Hamas cease-fire announcement.

But Israel said its troops in Gaza would not leave until rocket fire halted entirely.

The Palestinian cease-fire offer was announced by military leaders in Gaza and in Damascus, Syria, the base of Gaza's exiled Hamas leaders. They did not set a time, but it appeared to be effective immediately.

In Damascus, Moussa Abu Marzouk, Hamas' deputy leader, told Syrian TV that the cease-fire would last a week to give Israel time to withdraw and open all Gaza border crossings to let humanitarian aid into the embattled seaside territory.

"We the Palestinian resistance factions declare a cease-fire from our side in Gaza and we confirm our stance that the enemy's troops must withdraw from Gaza within a week," Abu Marzouk said.

Hamas, which rejects Israel's right to exist, violently seized control of Gaza in June 2007, provoking a harsh Israeli blockade that has deepened the destitution in the territory and confined 1.4 million Palestinians to the tiny coastal strip. Egypt has also kept its border with Gaza largely sealed.

Militants did not back down from their demand that Israel ultimately open blockaded crossings, which serve as economic lifelines for Gaza.

The Hamas offer raised hopes that the cease-fire would stick more than a few hours. Militants had fired 17 rockets into Israel on Sunday, slightly injuring three people, police said, even as foreign leaders tried cement an end to the war in Egypt. Israel briefly retaliated against the rocket assaults with air and artillery strikes.

In Gaza City, the Shahadeh family was loading mattresses into the trunk of a car in Gaza City, preparing to return home to the hard-hit northern Gaza town of Beit Lahiya.

"I've been told that the devils have left," said Riyadh Shahadeh, referring to the Israelis. "I'm going back to see how I'm going to start again. I don't know what happened to my house. ... I am going back there with a heart full of fear because I am not sure if the area is secure or not, but I have no other option."

In southern Israel, residents who have endured rocket attacks for eight years accused the government of stopping the offensive too soon. Israel declared the cease-fire before reaching a long-term solution to the problem of arms smuggling into Gaza, one of the war's declared aims.

Schools in southern Israel had remained closed in anticipation of the rocket fire that was swift to come. Shortly before the rocket fire resumed, the head of a parents association in the town of Sderot faulted the government for not reaching an agreement directly with Hamas, which Israel shuns.

"It's an offensive that ended without achieving its aims," Batya Katar said. "All the weapons went through Egypt. What's happened there?"

"The weapons will continue to come in through the tunnels and by sea," she said.

Before Hamas made its cease-fire offer, Israeli Prime Minister Ehud Olmert warned militants not to attack.

"Israel's (cease-fire) decision allows it to respond and renew fire at our enemies, the different terror organizations in the Gaza Strip, as long as they continue attacking," Olmert said at the start of the weekly Cabinet session.

"This morning some of them continued their fire, provoking what we had warned of," Olmert said. "This cease-fire is fragile and we must examine it minute by minute, hour by hour."

Cabinet Secretary Oved Yehezkel quoted the head of the Shin Bet security service, Yuval Diskin, as telling ministers that "the operation is not over."

"The next few days will make clear if we are heading toward a cease-fire or the renewal of fighting," Diskin was quoted as saying.

The Israeli operation outraged the Muslim world, sparking dozens of demonstrations. On Sunday, Qatar announced that it had closed Israel's trade office in the small Gulf Arab state and ordered its staff to leave within seven days.

Qatar is the only Gulf Arab state that has ties with Israel.

Leaders of Germany, France, Spain, Britain, Italy, Turkey and the Czech Republic — which holds the rotating European Union presidency — headed for Egypt to lend international backing to the cease-fire. Palestinian President Mahmoud Abbas, Egyptian President Hosni Mubarak and U.N. chief Ban Ki-moon were also expected to attend.

Ban welcomed the Israeli move and called on Hamas to stop its rocket fire. "Urgent humanitarian access for the people of Gaza is the immediate priority," he said.

Israel said it was not sending a representative to the meeting. But Sunday evening, leaders from Britain, Germany, Spain, Italy and France and the European Union were coming to Jerusalem for a working dinner with Olmert.

Hamas, shunned internationally as a terrorist organization, was not invited to the summit in Egypt. But the group has been mediating with Egypt, and any arrangement to open Gaza's blockaded borders for trade would likely need Hamas' acquiescence.

Abbas, too, echoed Hamas' call for a total Israeli withdrawal and the lifting of bruising Israeli sanctions.

Israel's cease-fire "is an important and necessary event but it's insufficient," said Abbas, Hamas' bitter rival and the top leader in the West Bank, the larger of the two Palestinian territories. "There should be a comprehensive Israeli withdrawal from Gaza, a lifting of the siege and a reopening of crossings" to aid, he said, speaking from Egypt.

Under the truce plan, Hamas would not rearm, as militants did during a 6-month truce that preceded the war. In a step toward achieving those guarantees, Israel on Friday won a U.S. commitment to help crack down on weapons smuggling into Egypt and from there, to Gaza.

But Egyptian Foreign Minister Ahmed Aboul Gheit said Saturday that his country would not be bound by the agreement. Egypt's cooperation is essential if the smuggling is to be stopped.

_____

Strike at Gaza School "kills 30'"

Strike at Gaza school 'kills 30'

At least 30 people were killed and 55 injured when Israeli artillery shells landed outside a United Nations-run school in Gaza, UN officials have said.

A number of children were among those who died when the al-Fakhura school in the Jabaliya refugee camp was hit, doctors at nearby hospitals said.

Israel said its soldiers had come under fire from militants inside the school.

Earlier, the International Committee of the Red Cross (ICRC) warned of a "full-blown humanitarian crisis" in Gaza.

Speaking on the 11th day of the Israeli assault, a senior ICRC official, Pierre Kraehenbuhl, said life in Gaza had become intolerable.

Palestinian health ministry officials say 595 people have been killed since the attacks began, 195 of them children. Mr Kraehenbuhl said much more needed to be done to protect civilians.

The UN Security Council is set to resume debate on a ceasefire call in New York, with Palestinian Authority President Mahmoud Abbas, several Arab foreign ministers, UK Foreign Secretary David Miliband and US Secretary of State Condoleezza Rice among those attending.

At least 70 Palestinians and five Israeli soldiers were killed on Tuesday.

One soldier was killed in an exchange of fire with militants in Gaza City, while four others were killed by shellfire from their own tanks earlier in the day, Israeli military officials said.

Israel says its offensive is stopping militants firing rockets, but at least five hit southern Israel on Tuesday, with one reaching the town of Gedera, about 40km (25 miles) from Gaza, and injuring a baby.

Four Israeli civilians have been killed by rocket fire from the Gaza Strip since the offensive began.

In other developments:

  • Israeli forces push further south in the Gaza Strip and clash with militants near Gaza City
  • Skirmishes are reported on the edges of the Deir al-Balah and Bureij refugee camps in central Gaza
  • Witnesses say Israeli tanks and soldiers are advancing on the southern town of Khan Younis
  • Venezuela orders the expulsion of Israel's ambassador in protest at the offensive and its "flagrant violations of international law"

Many claims cannot be verified. Israel is refusing to let international journalists into Gaza, despite a Supreme Court ruling to allow a limited number of reporters to enter the territory.

'Mortar fire'

The UN aid agency in Gaza, Unrwa, said three artillery shells had landed close to the al-Fakhura school on Tuesday afternoon, spraying shrapnel on people both inside and outside the building.

About 350 people had sought refuge at the school in an effort to escape the fighting between Israeli soldiers and militants on the outskirts of the Jabaliya refugee camp, to the east of Gaza City.

Television footage showed bodies scattered on the ground amid pools of blood.

The UN officials said they regularly provided the Israeli military with exact co-ordinates of their facilities, and that the school was in a built-up area.

UN Secretary-General Ban Ki-moon said he was "deeply dismayed" that despite these efforts, three UN-run schools had been hit by nearby Israeli strikes.

The Israeli military said that, according to initial checks, its soldiers had come under mortar fire from militants inside the al-Fakhura school.

"The force responded with mortars at the source of fire," it said in a statement. "Hamas cynically uses civilians as human shields."

It later reported that two well-known members of a Hamas rocket-launching cell had been among those killed at the school, naming them as Imad and Hassan Abu Askar.

Israeli government spokesman Mark Regev said the incident was a "very extreme example of how Hamas operates".

"If you take over - I presume with guns - a UN facility. If you hold the people there as hostages, you shoot out of that facility at Israeli soldiers in the neighbourhood, then you receive incoming fire - I think that's a war crime under international law," he told the BBC.

A Hamas spokesman, Fauzi Barhoun, said allegations that fighters had used the school to attack Israeli forces were "baseless".

"There was no fire of any kind from the school," he told the BBC.

Earlier in the day, at least three Palestinians were killed when another school was hit in the Shati camp, UN officials said.

The BBC's Rushdi Abu Alouf reports from a UN school inside a Gaza refugee camp

Ten people were also injured at a UN health centre in the Bureij refugee camp.

Maxwell Gaylard, the UN humanitarian co-ordinator for the Palestinian territories, described the incidents as tragic and demanded an independent investigation.

The director of operations for Unrwa, John Ging, told the BBC that conditions in Gaza were "horrific" and that nowhere was safe for civilians there.

Mr Ging said international leaders had a responsibility to act to protect civilians, some 14,000 of whom are sheltering in UN buildings.

'Immediate ceasefire'

Diplomatic efforts to try to end the violence are gathering pace.

French President Nicolas Sarkozy said he had asked his Syrian counterpart, Bashar Assad, to help convince Hamas to co-operate with efforts to end the Israeli offensive. Syria is regarded as a main backer of Hamas.

The loss of civilian life in Gaza and Israel is a source of deep concern for me

US President-elect Barack Obama

Asked about the deaths at the UN school in Gaza, Mr Sarkozy said: "It reinforces my determination for all this to stop as quickly as possible."

He later held talks with Egyptian President Hosni Mubarak in Sharm el-Sheikh, who offered to hold talks with Israel and the Palestinians on border security without delay.

US state department spokesman Sean McCormack said the US would like to see "an immediate ceasefire" in Gaza.

US President-elect Barack Obama, meanwhile, broke his silence about the conflict, telling reporters that "the loss of civilian life in Gaza and Israel is a source of deep concern for me".

However, he also reiterated his principle that only President George W Bush would speak for US foreign policy at this time.

The BBC's Laura Trevelyan in New York says the contours of an agreement are taking shape - international monitors along the Egypt-Gaza border to stop Hamas smuggling weapons and firing rockets at Israel, and the creation of a humanitarian corridor in southern Gaza to ensure that aid reaches the Palestinians.

The question now is whether Hamas will accept such a deal and if a call for a ceasefire will be heeded by Israel, our correspondent says.

Hamas has said that Israeli attacks on Gaza must stop and the crossings into the territory, which Israel controls, must be fully opened, before it agrees to a ceasefire.

Israeli Prime Miniser Ehud Olmert said on Tuesday that the military campaign in Gaza would continue until Israel had completely wiped out Hamas's ability to fire rockets into Israel.

Rabu, 14 Januari 2009

FILOSOF ISLAM



Doktor GhulaTentang Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinanim Hossein Ebrahim Dinan lahir pada tahun 1313 HS atau kira-kira 72 tahun lalu di desa Dinan bagian dari propinsi Isfahan. Dii tempat kelahirannya ia menyelesaikan SD nya. Pada waktu itu, keinginannya keras sekali untuk belajar agama. Ini mengantarkannya belajar fiqih, usul fiqih, nahwu, saraf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia belajar pada Syaikh Muhammad Ali Habib Abadi dan Syaikh Abbas Ali Habib Abadi.

Beliau pada tahun pertama dari dekade 1330, 55 tahun lalu, pergi ke Qom. Di sana, secara serius ia melanjutkan pendidikannya. Di Qom, ia belajar Syarah Lum'ah, Rasail, Makasib. Begitu juga ia mengikuti bahts kharijnya di sana. Ia belajar pada Syaikh Abdul Javad Sedehi, Sulthani Thaba'taba'i, Mujahidi, Imam Khomeini, Sayyid Muhammad Damad, Ayatullah Boroujerdi dan lain-lain. Pada saat yang sama, ia juga belajar Asfar Mulla Shadra dan Syifa Ibnu Sina kepada Allamah Thaba'thaba'i. Daya tarik pelajaran Allamah membuat profesor Dinani mengikuti kelas khususnya. Dan dengan izin dari Allamah ia mengikutinya.

Pada tahun 1340, 40 tahun lalu, ia berhijrah menuju Teheran. Ia mengikuti ujian dan berhasil mengikuti kuliah di fakultas ushuluddin universitas Teheran. Di fakultas ini, ia bertemu dengan pemikir-pemikir seperti doktor Javad Muslih, Malekshahi dan Rashid memberikan mata kuliah. Pada masa-masa itu, ia diterima oleh kementrian pendidikan sebagai pegawai negeri.

Pada tahun 1350, berdasarkan usulan Syahid Murtadha Muthahhari ia mengikuti ujian untuk menjadi asisten dosen di universitas Ferdousi Mashad. Ia di dua bidang; sejarah agama dan filsafat meraih urutan pertama. Ia kemudian memilih untuk lebih banyak aktif di bagian filsafat. Pada saat yang sama ia menyelesaikan program doktornya di Teheran. Akhirnya beliau secara resmi di terima di bagian filsafat universitas Ferdousi Mashad.

Doktor Dinani pada tahun 1361 dipindahkan ke Teheran masih dalam kelompok yang sama, filsafat. Semenjak itu, ia menjadi anggota tim studi filsafat universitas Teheran. Selain di bidang filsafat punya pandangan-pandangan khusus, ia juga seorang pemikir dalam bidang irfan dan fiqih. Dan dalam dua bidang ini, ia mempunyai banyak tulisan.

Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H).

http://awaited12th.blogspot.com/2007/06/kecemerlangan-ibnu-rusyd-dalam-filsafat.html

Neoplatonisme

Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru (Neoplatonisme) adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam. Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah kaum musyrik (pagans), dan rekonsiliasinya dengan suatu agama wahyu menimbulkan masalah besar. Tapi sebagai ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M), sebetulnya Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan tentang ajaran Tauhid. Sebab Plotinus yang diperkirakan sebagai orang Mesir hulu yang mengalami Hellenisasi di kota Iskandaria itu mengajarkan konsep tentang "yang Esa" (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sabab, cause). Lebih dari itu, Plotinus dapat disebut sebagai seorang mistikus, tidak. dalam arti "irrasionalis", "occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi dalam artinya yang terbatas kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah mengalami penyatuan dengan Tuhan atau "Kenyataan Mutlak."[9] Untuk memahami sedikit lebih lanjut ajaran Plotinus kita perlu memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, Pythagoras (baru) dan kaum Stoic.

Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali" (ideas, intelligibles) dan yang bersifat "inderawi" (sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah yang sebenarnya ada (ousia), jadi juga yang abadi dan tak berubah. Termasuk diantara yang akali itu ialah konsep tentang "Yang Baik", yang berada di atas semuanya dan disebut sebagai berada di luar yang ada (beyond being, epekeina ousias). "Yang Baik" ini kemudian diidentifikasi sebagai "Yang Esa", yang tak terjangkau dan tak mungkin diketahui.

Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai hasil kerja suatu "seniman ilahi" (divine artisan, demiurge) yang menggunakan wujud kosmos yang akali sebagai model karyanya. Disamping membentuk dunia fisik, demiurge juga membentuk jiwa kosmis dan jiwa atau ruh individu yang tidak akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa individu yang immaterial dan substansial itu merupakan letak hakikatnya yang bersifat ada sejak semula (pre-existence) dan akan ada untuk selamanya (post-existence immortality), yang semuanya tunduk kepada hukum reinkarnasi.

Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin tentang Akal (nous) yang lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah yang tidak bakal mati (immortal), sedangkan wujud lainnya hanyalah "bentuk" luar, sehingga tidak mungkin mempunyai eksistensi terpisah. Aristoteles juga menerangkan bahwa "dewa tertinggi" (supreme deity) ialah Akal yang selalu merenung dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu berbeda dari kegiatan inderawi, karena obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial, adalah identik dengan tindakan Akal untuk menjangkau wujud itu.

Dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Pythagoras (baru), dan dirubahnya menjadi monisme dan berpuncak pada konsep tentang adanya Yang Esa dan serba maha (transenden). Ini melengkapi ajaran kaum Stoic yang di samping materialistik tapi juga immanenistik, yang mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan dalam alam raya.[10]

Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan menuntunnya kepada ajaran tentang tiga hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa atau Yang Baik, Akal atau Intelek, dan Jiwa.[11]

Aristotelianisme

Telah dinyatakan bahwa Neoplatonisme cukup banyak mempengaruhi falsafah Islam. Tetapi sebenarnya Neoplatonisme yang sampai ke tangan orang-orang Muslim, berbeda dengan yang sampai ke Eropa sebelumnya, yang telah tercampur dengan unsur-unsur kuat Aristotelianisme. Bahkan sebetulnya para failasuf Muslim justru memandang Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-mu'allim al-awwal), yang menunjukkan rasa hormat mereka yang amat besar, dan dengan begitu juga pengaruh Aristoteles kepada jalan pikiran para failasuf Muslim yang menonjol dalam falsafah Islam.

Neoplatonisme sendiri, sebagai gerakan, telah berhenti semenjak jatuhnya Iskandaria di tangan orang-orang Arab Muslim pada tahun 642.[12] Sebab sejak itu yang ada secara dominan ialah falsafah Islam, yang daerah pengaruhnya meliputi hampir seluruh bekas daerah Hellenisme.

Tetapi sebelum gerakan Neoplatonis itu mandeg, ia harus terlebih dahulu bergulat dan berhadapan dengan agama Kristen. Dan interaksinya dengan agama Kristen itu tidak mudah, dengan ciri pertentangan yang cukup nyata. Salah seorang tokohnya yang harus disebut di sini ialah pendeta Nestorius, patriark Konstantinopel, yang karena menganut Neoplatonisme dan melawan ajaran gereja terpaksa lari ke Syria dan akhirnya ke Jundisapur di Persia.[13]

Sebenarnya Neoplatonisme sebagai filsafat musyrik memang mendapat perlakuan yang berbeda-beda dari kalangan agama. Orang-orang Kristen zaman itu, dengan doktrin Trinitasnya, tidak mungkin luput dari memperhatikan betapa tiga hypostase Plotinus tidak sejalan, atau bertentangan dengan Trinitas Kristen. Polemik-polemik yang terjadi tentu telah mendapatkan jalannya ke penulisan. Maka orang-orang Muslim, melalui tulisan-tulisan dalam bahasa Suryani yang disalin ke Bahasa Arab, mewarisi versi neoplatonisme yang berbeda, yaitu Neo-platonisme dengan unsur kuat Aristotelianisme.[14] Menurut pelukisan F.E. Peters, mengutip kitab al-Fihrist oleh Ibn al-Nadim,

The Arab version of the arrival of the Aristotelian corpus in the Islamic world has to do with the discovery of manuseripts in a deserted house. Even if true, the story omits two very important details which may be supplied from the sequel: first, the manuseripts were certainly not written in Arabic; second, the Arabs discovered not only Aristotle but a whole series of commentators as well.[15]
(Versi Arab tentang datangnya karya-karya Aristoteles di dunia Islam ada kaitannya dengan diketemukannya naskah-naskah di suatu rumah kosong. Seandainya benarpun, kisah itu menghilangkan dua rinci penting yang bisa melengkapi jalan cerita: pertama, naskah-naskah itu pastilah tidak tertulis dalam Bahasa Arab; kedua, orang-orang Arab itu tidak hanya menemukan Aristoteles tetapi seluruh rangkaian para penafsir juga).

Ini berarti bahwa pikiran-pikiran Aristoteles yang sampai ke tangan orang-orang Muslim sudah tidak "asli" lagi, melainkan telah tercampur dengan tafsiran-tafsirannya. Karena itu, meskipun orang-orang Muslim sedemikian tinggi menghormati Aristoteles dan menamakannya "guru pertama", namun yang mereka ambil dari dia bukan hanya pikiran-pikiran dia sendiri saja, melainkan justru kebanyakan adalah pikiran, pemahaman, dan tafsiran orang lain terhadap ajaran Aristoteles. Singkatnya, memang bukan Aristoteles sendiri yang berpengaruh besar kepada falsafah dalam Islam, tetapi Aristotelianisme. Apalagi jika diingat bahwa orang-orang Muslim menerima pikiran Yunani itu lima ratus tahun setelah fase terakhir perkembangannya di Yunani sendiri, dan setelah dua ratus tahun pikiran itu digarap dan diolah oleh para pemikir Kristen Syria. Menurut Peters lebih lanjut, paham Kristen telah mencuci bersih tendensi "eksistensial" filsafat Yunani, sehingga ketika diwariskan kepada orang-orang Arab Muslim, filsafat itu menjadi lebih berorientasi pedagogik, bermetode skolastik, dan berkecenderungan logik dan metafisik. Khususnya logika Aristoteles (al-manthiq al-aristhi) sangat berpengaruh kepada pemikiran Islam melalui ilmu kalam. Karena banyak menggunakan penalaran logis menurut metodologi Aristoteles itu, maka ilmu kalam yang mulai tampak sekitar abad VIII dan menjadi menonjol pada abad IX itu disebut juga sebagai suatu versi teologi alamiah (natural theology, al-kalam al-thabi'i, sebagai bandingan al-kalam al-Qur'ani) di kalangan orang-orang Muslim.[16]

Islam, Doktrin dan Peradabanoleh Dr. Nurcholish Madjidhttp://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Falsafah2.htmlISLAM Doktrin dan PeradabanPenerbit Yayasan ParamadinaJln. Metro Pondok IndahPondok Indah Plaza I Kav. UA 20 21Jakarta Selatan

Abdullah, Amin, ‘Teologi dan Filsafat dalam Perspektif GlobalisasiE dalam Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogya, Tiara Wacana, 1998
Amien, Miska M., Epistemologi Islam, Jakarta, UI Press, 1983

Hanafi, Ahmad, Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1974
Hasan, Hasyim, Al-Asâs al-Manhajiyah, Kairo, Dar al-Fikr, tt
Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
















Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam kancah pemikiran Islam lewat terjemahan, diakui oleh banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti difahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan.
Suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles, misalnya, jelas merupakan murid Plato (427-348 SM), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula Barush Spinoza (1632-1777 M) walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M) tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri. Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filosof muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M), misalnya, walau sebagai murid Aristoteles, tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak sama dengan gurunya. Para filosof muslim secara umum hidup dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof lainnya, sehingga adalah suatu kesalahan jika kita mengabaikan pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori mereka.
Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa (1) apa yang disebut transmisi filsafat Yunani ke Arab merupakan suatu proses kompleks dimana ia sering banyak dipengaruhi oleh interpretasi-interpretasi yang diberikan melalui suatu tradisi skolastik sebelumnya, dan –-kadang kala—- dalam istilah-istilah yang sudah digunakan secara teknis dalam disiplin baru yang berkaitan dengan bahasa Arab atau Islam. Konsekuensinya, tugas rekonstruksi sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu diharapkan berbentuk suatu terjemahan yang jelas kedalam sesuatu yang dianggap asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks, dan karena itu harus direkonstruksi secara terlepas dari teks. (2) Perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari al-Kindi (801-878 M) sampai Ibn Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya bisa diapresiasikan tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut. (3) karena itu pula, presentasi karya-karya muslim secara terpisah dari faktor-faktor cultural akan menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang sering terjadi ketika batas-batas kultural sudah terlewati. Sedemikian, sehingga tidak bisa dibantah bahwa karya-karya filsafat Islam disusun berdasarkan nilai-nilai pokok agamanya dan kondisi sosial yang melingkupinya. Artinya, filsafat Islam adalah sesuatu yang berdiri sendiri, mempunyai arah, gaya, dan persoalan sendiri, tidak sekedar peralihan dari Yunani.
Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani lewat terjemahan. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap secara pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M). Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbâth) dengan istilah-istilah seperti istihsân, istishlâh, qiyâs dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbâth dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.
Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim, pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata ‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?
Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berpikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku.
Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program penterjemahan. Dalam proyek ini, hampir semua buku pasca-Socrates (470-399 M) yang berlaku di sekolah-sekolah helenisme diterjemahkan, khususnya karya-karya Aristoteles kecuali Politics, dan karya-karya Neo-Platonis, seperti Plotinus (205-270 M) dan Porphyry (232-304 M). Namun demikian, para filosof Islam rupanya lebih tertarik pada ide-ide neo-platonisme dibanding Aristoteles, setidaknya ajaran neo-platonisme lebih popular dan berkembang dalam pemikiran Islam dibanding gagasan Aristoteles yang tampaknya hanya dikaji aspek logika formalnya. Ini tampak jelas pada ajaran emanasi (faidl) al-Farabi, meski dia dijuluki sebagai tokoh paripatetik, dan juga emanasi Ibn Sina atau ajaran-ajaran sufisme sesudahnya. Menurut Nurchalis Madjid, kenyataan itu terjadi mungkin karena konsep ketuhanan neo-platonisme terkesan tauhid. Misalnya, tentang penegasan transendensi asal pertama (al-Ashl al-Awwal) atau Tuhan.
Akan tetapi, dalam perjalanan waktu, ajaran-ajaran neo-platonisme ini ternyata mendapat tantangan hebat. Al-Ghazali (1058-1111 M) yang digelari ‘argumentasi Islam’ (Hujjah al-Islâm) menyerangnya secara telak. Dalam kitabnya yang terkenal, Tahâfut al-Falâsifah, ia mengkaji secara terinci dan menyatakan bahwa metafisika dari Yunani seperti yang disampaikan al-Farabi dan Ibn Sina tidak sesuai dengan ajaran Islam dan bisa menyebabkan penganutnya menjadi kufur. Serangan tersebut diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl.
Dalam persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa al-Ghazali, setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati. Pertama, bahwa ia, sesungguhnya, hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya metafisika al-Farabi dan Ibn Sina yang neo-platonisme, tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. Sebab, dibagian lain, al-Ghazali tetap mengakui pentingnya logika atau epistemologi (bagian dari filsafat) dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashfâ fi `ulûm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani, untuk melandingkan doktrin dan gagasannya.
Kedua, bahwa tuduhan al-Ghazali terhadap doktrin al-Farabi dan Ibn Sina adalah tidak tepat. Dalam tulisannya, al-Ghazali menilai bahwa ajaran al-Farabi dan Ibn Sina, juga para filosof lain yang senada, telah jatuh dalam kekufuran, karena mengajarkan tentang keqadiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (juz’iyat). Padahal, kedua tokoh filosof muslim ini sebenarnya tidak menyatakan persis seperti yang dituduhkan. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang dimaksud dengan qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu. Apa yang disebut sebagai ‘waktu’ atau ‘zaman’ muncul bersamaan dengan alam. Tidak ada istilah waktu atau zaman sebelum munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah yang dimaksud qadim oleh para filosof. Dan keqadiman alam ini tetap tidak sama dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan qadîm bi dzatihi, qadim dengan diri-Nya sendiri tanpa berhubungan dengan ruang dan waktu atau yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya berhubungan dengan waktu tetapi ia hadits (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Disini telah terjadi salah faham atau perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang digunakan antara al-Ghazali dengan para filosof.
Ketiga, tentang penilaian al-Ghazali pada al-Farabi dan Ibn Sina dalam kaitannya dengan Aristoteles. Dalam al-Munqid, al-Ghazali membagi filsafat Yunani dalam bagian; materialisme (dahriyûn), naturalisme (thabî’iyyûn) dan theisme (ilâhiyyûn). Kelompok materialisme adalah mereka yang mengingkari Sang Pencipta (Tuhan) seraya menyatakan bahwa semesta wujud dengan sendirinya. Golongan ini dianggap sebagai tidak beragama. Ini mungkin ditujukan pada para filosof Yunani purba, seperti Thales (625-545 SM), Anaximandros (610-547 SM), Anaximenes (585-528 SM) dan Heraklitos (540-480 SM), yang pada prinsipnya menyatakan bahwa semesta ini tersusun atas unsur alam sendiri, yakni air, udara, api dan tanah, bukan oleh Sang Pencipta. Golongan naturalisme adalah mereka yang menyakini kekuatan material dan bahwa apa yang telah mati tidak akan kembali, sehingga tidak ada hari kebangkitan dan pembalasan. Ini kiranya ditujukan pada tokoh seperti Demokritos (460-360 SM) dan para filosof Ionia yang hanya menyakini eksistensi material. Kelompok theisme adalah para filosof yang lebih modern yang menyakini Sang Pencipta, seperti Socrates, Plato (427-347 SM), Aristoteles dan –-menurut al-Ghazali—- al-Farabi serta Ibn Sina sebagai pengikutnya.
Penilaian atau pengklasifikasian al-Ghazali tersebut tidak sepenuhnya benar. Betul bahwa al-Farabi adalah pengikut Aristoteles sehingga dianggap sebagai tokoh paripatetik muslim, tetapi ia agaknya hanya mengambil dan mengembangkan aspek logikanya belaka seperti yang kita lihat pada bagian epistimologi burhani. Gagasan metafisikanya yang kemudian dianggap menyimpang dari ajaran Islam oleh al-Ghazali adalah dikembangkan dari ajaran neo-platonisme, bukan dari Aristoteles. Itulah sebabnya, dikemudian hari, Ibn Rusyd (1126-1198 M) juga mengkritik bahwa al-Farabi telah menyimpang dari ajaran Aristoteles.
Akibat serangan al-Ghazali tersebut, meski tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon masyarakat muslim terhadap filsafat menjadi berkurang. Ibn Rusyd (1126-1198 M) mencoba membendung serangan al-Ghazali tersebut dan mencoba mengembalikan posisi filsafat lewat karyanya yang terkenal, Tahâfut al-Tahâfut. Akan tetapi, upaya Ibn Rusyd tidak memenuhi hasil, karena pembelaannya bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali ditujukan pada pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina yang neo-platonisme. Artinya, disini ada ketidaksambungan antara Ibn Rusyd dengan al-Ghazali, seperti antara al-Ghazali dengan al-Farabi dan Ibn Sina.
Meski demikian, kajian dan pemikiran filsafat, sesungguhnya, tidak benar-benar hilang oleh serangan al-Ghazali. Bahkan, ketika Ibn Rusyd juga tidak berhasil menghadang pengaruh al-Ghazali, filsafat Islam tetap berkembang. Apa yang dianggap sebagai kematian filsafat oleh sebagian orang hanya terjadi dikalangan sunni, khususnya Asy`ariyah. Pada bagian lain di dunia Islam, filsafat justru menemukan arah baru dan semakin membumbung tinggi. Kenyataan ini bisa dilihat dengan lahirnya gagasan-gagasan filosofis dan orisional yang disampaikan tokoh-tokoh seperti Suhrawardi (1153-1191 M) dengan ajaran isyrâqi (illuminasi), Ibn Arabi (1165-1240 M) dengan doktrin wahdat al-wujûd-nya, dan Mulla Sadra (1570-1640 M) dengan konsepnya tentang hikmah al-muta`aliyah. Ide-ide para tokoh ini bahkan melebihi prestasi filosof-filosof sebelumnya. Perbedaannya, pada masa pasca Ibn Rusyd ini pemikiran filsafat berkembang dengan cara bersatu dengan pengalaman mistik atau sufisme, sementara pada masa pra-Ghazali lebih mendasarkan diri pada kekuatan rasionalitas murni. Kenyataan inilah yang tidak diperhatikan oleh banyak sarjana dan peneliti, sehingga sebagian besar menganggap bahwa filsafat Islam telah terhenti setelah Ibn Rusyd.
Kenyataan tersebut juga terjadi pada bidang teknologi, dimana kebanyakan ahli menilai bahwa teknologi Islam telah mati sejak abad ke-12. Al-Hasan dan Donald Hill, lewat penelitiannya yang mendalam tentang ini menolak penilaian tersebut. Menurutnya, teknologi Islam tidak mati setelah setelah abad ke-11 M, bahkan juga tidak mengalami penurunan sedikitpun. Sebab, manuskrip-manuskrip teknologi justru lebih banyak dihasilkan dalam periode ini dibanding sebelumnya. Al-Hasan membagi evolosi sains dan teknologi Islam dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah periode transisi dan asimilasi yang membawa pada kelahiran sains Islam. Tahap kedua dicirikan oleh banyaknya inovasi dibidang sains, dan tahap ketiga ditandai oleh inovasi dibidang teknologi dan sains sekaligus. Tahap terakhir ini bermula pada abad ke-12 dan berakhir pada sekitar pertengahan abad ke-17 M.
Masalahnya sekarang, bagaimana membangun kreatifitas berpikir dikalangan umat sehingga mampu menelorkan gagasan-gagasan alternatif yang segar seperti yang pernah terjadi dimasa lalu? Bagaimana pula model atau sistem yang mesti dipakai guna tercapainya tujuan tersebut? Seperti dikatakan Ali Syariati, keyakinan yang benar tidak bisa tumbuh kecuali dari pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang benar tidak bisa lahir kecuali dari cara berpikir yang benar, sementara cara berpikir yang benar hanya bisa terjadi dari metode berpikir yang benar. Artinya, metodologi adalah sesuatu yang sangat penting. Siapa yang tidak menguasai metodologi berarti tidak akan mendapatkan sesuatu secara benar dan tidak akan bisa mengembangkan apa yang dimiliki.
Karena itu, upaya penumbuhan kreatifitas berpikir tersebut harus dilalui dengan pengintensifan kajian logika, metodologi atau epistemologi dari ilmu-ilmu yang berkembang. Selama ini, pendidikan Islam baik yang formal seperti IAIN atau pesantren, kurang memberikan perhatian yang cukup pada aspek-aspek ini dan lebih memperhatikan aspek sejarah atau memberikan kuliah secara instan. Dalam kajian tafsir, misalnya, mereka lebih sering bicara sejarah tafsirnya atau penafsiran para tokoh. Begitu pula dalam kajian hadis, fiqh, filsafat atau yang lain. Untuk menumbuhkan kreatifitas berpikir umat, kita harus mengurangi kajian-kajian seperti itu dan lebih menekankan aspek metodologinya. Harus lebih mengkaji ilmu tafsir daripada tafsirnya, ushûl al-fiqh daripada fiqhnya, ilmu hadis daripada hadisnya, epistimologi daripada metafisikanya, dan seterusnya. Keberhasilan para tokoh terdahulu adalah karena mereka menguasai ilmu-ilmu alat (metodologi) ini.
Selanjutnya, yang mesti menjadi perhatian adalah bahwa pandangan Islam tentang realitas sebagai objek kajian ilmu ternyata tidak hanya terpaku pada dunia empirik atau fisikal tetapi mencakup juga dunia ruh. Diri manusia sendiri adalah miniatur semesta yang tidak hanya terdiri atas jasat tetapi juga hati, perasaan, jiwa dan ruh yang merupakan ‘bagian’ dari Tuhan. Karena itu, metodologi pemikiran Islam tidak bisa hanya mengandalkan eksperimen-eksperimen lahiriyah atau hanya mengandalkan kekuatan dan kegeniusan rasuo tetapi harus dengan kesucian hati. Apapun metode yang digunakan harus didukung oleh kebersihan jiwa. Setidaknya ada dua manfaat yang bisa diperoleh dengan model penggabungan rasio dan hati ini. Pertama, agar kita tidak ikut jatuh dalam problem spiritualitas seperti manusia modern (Barat). Sebagaimana diuraikan al-Attas dan al-Faruqi dalam proyek Islamisasi ilmunya, juga para pemikir muslim lainnya, masyarakat Barat tengah dihadapkan pada krisis identitas kemanusiaan dan moral akibat hanya berpegang pada kekuatan rasio tanpa spiritual dan agama. Kedua, diharapkan akan diperoleh ide-ide lebih tinggi dari ‘alam atas’ sehingga bisa menghasilkan lompatan-lompatan besar bagi kemanusiaan. Seperti dikatakan Nasr, bagaimana metode Ibn Sina dan Ibn Arabi sampai pada teorinya yang menggemparkan, atau Suhrawardi sampai pada teorinya bahwa objek-objek materiil merupakan tingkat-tingkat cahaya, atau al-Thusi (w. 1274 M) sampai pada model planetnya yang baru, atau Ibn Haitsam (965-1039 M) pada konsep momentum yang menjadi salah satu konsep dasar fisika modern? Semua itu karena adanya keterlibatan ide-ide dari ‘alam atas’ yang diterima lewat kesucian hati atau intuisi.

WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Penerbit, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, Indonesia, 2004 khudori Sholeh






































Ahmad Gibson AB.


Pendahuluan
Kelahiran filsafat di Yunani pada perkisaran abad ke- 6-4 SM. Telah membawa arah angin peradaban yang sangat berbeda di Eropa, bahkan angin segar ini telah pula (pada abad selanjutnya) di benua lainnya. Perobahannya sangatlah radikal, dari peradaban mitologis ke peradaban rasional. Angin ini pun, walaupun tidak terlalu deras, telah menerpa Dunia Islam pada abad ke-2 setelah Rasulullah wafat.
Kelahiran filsafat ini, dianggap angin segar dalam rentang sejarah peradaban manusia, karena sebelumnya peradaban mitologis telah sedemikian lama mencengkram kehidupan manusia. Suatu sistem peradaban yang sulit untuk menjanjikan perkembangan lebih lanjut. Para ahli studi budaya budaya melihat bahwa, sisi gelap mitologi adalah ketika dilihatnya posisi manusia sebagai objek yang berada dalam bayang-bayang “penjajahan” pada Dewa. Demikian juga, manusia telah menjadi objek sejarah, bukannya subjek sejarah kehidupannya.
Pengalaman pahit sejarah ini, bagai peradaban eropa, telah menggariskan luka yang demikian parah, sehingga melahirkan “dendam” berkepanjangan. Dendam ini semakin berkarat, ketika sejarah pahit dunia Eropa terulang kembali ketika kekuasaan Gereja sebagai reinkarnasi para dewa di muka bumi, dimana mitologi berubah bentuk menjadi doktrin-doktrin gereja yang telah mencengkram dan membelenggu “kebebasan” manusia, khususnya kebebasan untuk berkreasi dan berpikir.
Warna sejarah agak lain, ketika filsafat sampai di tangan para pemikir Muslim. Filsafat. Dunia Islam bukannya menolak, bahkan sepertinya malah menemukan kekuatan ekstra dari hadirnya filsafat tersebut. Filafat di Dunia Kristiani Romawi Ortodoks telah memporak-porandakan basic keyakinan asli, sehingga berubah wajah menjadi sistem keyakinan yang berwarna Romawi klasik. Agama kewahyuan berubah menjadi doktrin-dokrin yang bernuansa mitologis.
Pertemuan antara filsafat Yunani Kalsik dengan Islam di Dunia Islam, malah seperti bertemunya dua teman lama yang telah lama tidak berjumpa. Yang paling menarik, dengan tidak merusak semangat filosofis yaitu pencarian kebenaran atau kebijaksanaan sejati (wisdom, al-hikmah), filsafat yang kemudian mewujud “filsafat Islam” malah semakin luas wilayah garapannya.
Sebagai salah satu indikasi dari produktivitas para filosof Mulis, diantaranya adalah lahirnya sejumlah “disiplin ilmu” yang cukup banyak dan mandiri. Disiplin ilmu yang tidak hanya sekedar pelebaran wilayah kajian filsafat, akan tetapi telah mampu menurunkan sistem pengetahuan tersebut dari tataran pengetahuan filsafat (sebagai produk berpikir atau aktivitas filosofis) ke tataran pengetahuan praksis. Displin ilmu yang terlahir pada masa Islam Klasik ini antara lain: Filsafat Hukum yang melahirkan prinsip-prinsip hukum serta metodologinya (ushul fiqh); Ilmu Sejarah beserta metodologinya yang kemudian digunakan secara spesifik dalam Musthalah Hadits, selain ilmu sejarah itu senidiri (Tarikh); Ilmu Kedokteran, Ilmu Kimia, Ilmu Bumi, Ilmu Antariksa atau Astronomi, matematika dan lain sebagainya. Bahkan, dalam ilmu bahasa, retorika dan logika berkembang selain ilmu-ilmu tata-bahasa, mantik ilmu penafsiran (hermenetika, interpretasi); serta ilmu-ilmu lainnya.
Dengan demikian, terjadi perkembangan yang sangat lebar dari ruang lingkup studi filsafat di tangan para pemikir Muslim, bahkan telah mampu menelorkan ilmu-ilmu lainnya sehingga membuktikan keberadaan filsafat sebagai the mother of the sciences, baik dalam ruang lingkup maupun metodologinya, yang disumbangkan Dunia Islam terhadap sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan. Lalu, secara skematis, pengetahuan apa saja sebenarnya yang telah disumbangkan ummat Islam pada masa lalu, kini dan kemungkinan perkembangan di masa yang akan datang.
Untuk bisa mengetahui hal tersebut, tampaknya perlu re-strukturisasi filsafat Islam, dan juga re-strukturisasi ilmu derivasinya.
Untuk selanjutnya, dalam makalah ini penggunaan periodisasi atau pembabakan berdasarkan waktu, sebagai karakteristik metode pembahasan kesejarahan, tidak akan digunakan. Hal ini dilakukan untuk melihat filsafat sebagai suatu sistem pengetahuan yang integral.
Pemilahan atau tepatnya klasifikasi filsafat hanya akan dilakukan, yaitu filsafat Yinani (klasik) dengan Filsafat Islam (klasik). Pemilihan ini lebih merupakan tuntutan metodologis, dalam upaya membandingkan antara Filsafat Yunan dan Filsafat Islam, dan ini pun dilakukan hanya untuk melihat kedudukan dan kontribusi Filsafat Islam dalam mengembangkan studi Filsafat.

Sistematika Filsafat Yunani (Klasik)
Filsafat Yunani (Klasik), diawali oleh lahirnya pemikiran Thales tentang alam, khususnya tentang asal mula alam semesta mengawali pengembaraan inteleknya dengan membicarakan asul-usul dan esensi serta eksistensi alam semesta (What is the nature of the wolrd stuff ?). Caranya menjawab persoalan ini sangat berbeda dengan cara mitologi menjawab. Para filosof mendasarkan jawaban terhadap karakteristik umum alam yang ditemukan dalam kehidupan yang diamatinya. Pengalaman dan pengamatan para filosof dari lingkungan yang berbeda, cenderung menghasilkan jawaban yang berbeda pula. Kesamaannya terletak pada penggunaan kekuatan rasio dalam mengungkap fenomena alam. Jawaban terhadap pertanyaan mendasar tentang alam ini dilanjutkan oleh penerusnya seperti Anaximandros, Anaximenes, Pythagoras dan yang lain, dengan kecenderungan cara pandanga yang relatif berbeda. Ada yang menekankan pada visi yang sangat naturalis ada pula yang lebih metafisis dan spiritualis seperti Anaximenes, Pythagoras, Zeno dan beberapa filosof lain sesudahnya.
Pembicaraan Filsafat Yunani ini beralih secara drastis, dari persoalan tentang materi penyusun alam ke persoalan epistemologi. Hal ini terjadi ketika persoalan kebenaran dibicarakan, sehingga muncul kelompok atau kaum Sofis. Dalam sistem filsafat Barat Modern, pemikiran mereka mirif dengan aliran filsafat skeptisisme atau relativismenya Descartes. Pusat pembicaraan telah berkembang sedemikian rupa, dari pembicaraan tentang alam beralih ke persoalan tentang pengetahuan dan manusia. Keadaan ini dipertegas oleh munculnya tokoh yang secara radikan melakukan kritik terhadap pemikiran kaum Sofis ini. Dan, Socrates menjadikan persoalan manusia sebagai titik tolak pembicaraannya. Dan ialah yang mempopulerkan adagium filosofis yang diadaftasi dari pernyataan dari seorang Delphi, yaoti pernyataan “Know your self”. Demikian, pengenalan terhadap diri menjadikan dasar perenungan filosofis yang dilakuakan Socrates.
Akumulasi dari persoalan-persoalan tentang esesnsi penyususn alam semesta (termasuk persoalan tentang gerak dan perubahan), kebenaran dan pengetahuan, serta persoalan tentang manusia, muncullah satu pertanyaan mendasar yang mengatasi seluruh persoalan tersebut. Yaitu, apa sesungguhnya hakikat dari “ada”, onthos. Persoalan ini untuk pertama kalinya dikemukakan dan dibahas oleh Plato yang mengeluarkan aliran filsafat Idealisme dan Aristoteles yang melahirkah alirasn filsafat Realisme.
Kelahiran Plato khususnya Aristoteles sepertinya telah menutup sejumlah kemungkinan pemikiran untuk berkembang, saat itu. Karena persoalan-persoalan telah sedemikian lengkap dibahas oleh mereka berdua, khususnya Aristoteles. Kemunculan Plotinus sebagai pendidir aliran Neo-Platonisme hanya melengkapi dan menyempurnakan pemikiran pendahulunya, Plato. Hal yang paling menarik dan perlu dicatat dari pemikiran Plotinus, pada upaya untuk mempertemukan pemikiran-pemikiran filsafat yang rasional sifatnya dengan doktrisn-doktrin agama, khususnya Kristiani.
Dengan demikian, bila kita strukturkan pemikiran filsafat Yunani (Klasik), dilaihat dari kecenderungan dan akar persoalan yang dibahas, dapat disistematisikan (disimpulkan) sebagi berikut:


1. Logika
a. Kategori-kategori
b. Interpretasi (penafsiran)
c. Analitika apriora
d. Analitika aposteriora
e. Topika (jadal)
2. Filsafat Alam
a. Fisika
b. Perihal Langit
c. Kelahiran dan Musnahnya Makhluk Biologis
d. Meteorologi
3. Psikologi
a. De Anima (jiwa)
b. Prisnsi-prinsip Alamiah Jiwa
i) Panca indera dan objeknya
ii) Ingatan dan pengingatan
iii) Tidur
iv) Mimpi
v) Tenung
vi) Usia
vii) Perihal kehidupan dan kematian
viii) Tentang nafas
4. Biologi
a. Anatomi binatang
b. Gerak binatang
c. Jalan binatang
d. Kejadian binatang
5. Metafisika (filsafat pertama, theologia)
6. Etika
a. Etika Nicomachae
b. Moral
7. Politik
a. Politik
b. Ekonomi
8. Retorika dan Puisi (poetica)
a. Poetika
b. Retorika

Aristoteles sebagai seorang realisme yang menggunakan metode empirismenya, telah mengawali melakukan derivasi pengetahuan filsafat yang rasional-spekulatif (teoritis) menjadi pengetahuan-pengetahuan praktis, seperti kedokteran, logika (dari filsafat berpikir menjadi seni dan metode berpikir), seni berbicara (retorika).
Diantara pemikiran para filosof Yunani (Klasik) yang terdokumentasikan hanyalah Sokrates (yang ditulis Plato), Plato dan Aristoteles, dan Plotinus (era Agama). Tema-tema yang dibahas oleh Socrates dan Plato secara garis besar juga dibicarakan oleh Aristotes (dengan metode, isi dan pemikiran yang berbeda)
Bila melihat persoalan khususnya wilayah jelajah pemikiran filsafat yang dilahirkan dari era pertama kelahiran filsafat ini, tampak bahwa sistem pengetahuan yang terbentuk dan dibangun pada umumnya masih berada dalam tataran teoris, filsafat murni, spekultatif-rasional. Baru beberapa sistem pengetahuan yang telah mewujud sebagai suatu disiplen pengetahuan praktis, emprikal.

Sejarah Filsafat Islam dan Aktivitas Filosofinya
Kultur berpikir bebas dan rasional di Dunia Islam (masyarakat Muslim) telah tumbuh semenjak masa Rasulullah. Terdapat sejumlah kondisi yang mendukung dan memungkinkan umat Islam ketika itu berpikir “bebas” dan rasional, antara lain:
1. Tuntutan dan tantangan dari al-Qur’an,
2. Perintah dan peluang yang diberikan nabi pada sejumlah sahabat dan umat Islam pada umumnya.
3. Terjadinya interaksi yang sangat dinamis dan terbuka dengan sejumlah penganut aga yang berbeda. Hal ini sangat dimungkinkan karena Makkah sebagai jalur lalulintas perdagangan (ekonomi) .

Dengan demikian secara garis besar, tuntutan berpikir bebsa dan rasional ini dalam hubungannya dengan sistem ajaran Islam secara langsung, ada dua hal, perama karena tuntutan al-Qur’an dan Nabi. Kedua, tuntutan untuk mempertahankan dan membersihkan ajaran dan akidah Islam dari serangan sistem keyakinan lainnya.
Pada perkembangan selanjutnya, perkembangan berpikir umat Islam semakin berkembang setelah Rasulullah wafat. Hal ini dikarenakan munculnya tuntutan yang semakin kuat dari persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam, sementara Rasul sudah tidak lagi berada diantara mereka.
Perkembangan pemikiran mereka semakin menemukan bentuknya yang jelas dan sistematis setelah munculnya aliran Kalam dalam islam dan masuknya pemikiran filsafat dari Yunani, terutama setelah dilakukannya penterjemahan-penterjemahan buku-buku filsafat Yunan tersebut. Tradisi berpikir rasiona, dalam berbagai aspek, semakin merebak ketika metode dan perenungan filsafat dijadikan sebagai metode dalam memahami dan memecahkan persoalan-persoalan keagamaan. Akumilasi dari aktivitas tersebut, lahirlah sejumlah disiplin ilmu dalam Islam, baik (khususnya) yang berhubungan persoalan-persoalan keagamaan, maupun yang berhubungan dengan persoalan-persoalan sosial, politik dan budaya umat Islam.
Dari catatan sejarah yang terungkan, Al-Kindi, menurupakan orang Islam pertama yang secara serisu melakukan penterjamahn-penterjemahan serta melakukan pengulasan terhadap pemikiran filsafat Yunani tersebut. Upaya ini selanjutnya diikuti dan dilakukan oleh filosuf Islam sesudahnya.
Hal yang belum pernah dilakukan oleh filosuf sebelumnya (temasuk oleh Plotinus), adalah upaya untuk mencari titik temu dan “menggabungkan” antara pemikiran Aristotelian dan Platonian, yang baik secara epistemologis maupun ontologis berbeda bahkan bertentangan. Kemampuannya ini, semakin tampak dalam melakukan “rekonsiliasi” antara filsafat, kalam dan Agama. Rekonsiliasi antara Filsafat dengan Kalam, mungkin tidak dinggap terlalu istimewa, karena dalam filsafat Yunani pun terdapat tema-pembicaraan tentang Tuhan dengan pendekatan yang tidak terlalu berbeda (rasional). Akan tetapi melakukan “rekonsiliasi” antara agama dengan filsafat (filsafat Idelaisme dan realisme yang juga, berbeda bahkan bertentangan) bukanlah hal yang mudah dan bisa dianggap sepele.
Sebagi ilustrasi, Plotinus yang mencoba melakukan rekonsiliasi antara agama (Kristiani) dengan filsafat Yunani, ia harus (hanya) menerima secara filsafat Idealismenya Plato dengan sejumlah modifikasi yang kreatif, namun harus menolak secara total filsafat Realismenya Aristoteles.
Para filosof Muslim melakukan sejumlah modifikasi dan pengambangan yang sangta kreatif terhadap pemikiran filsafat Yunani, bahkan bukan hanya pemikiran filsafat Plato dan Aristo saja akan tetapi juga dari para filosof sebelumnya, termasuk Plotinus sebagai pengukut dan pembaharu pemikiran-pemikiran Plato.
Dengan demikian, apabila aktivitas “philosophying” (berpilasafat) yang dilakukan oleh para filosof Muslim, mengingat tradisi berfisafat mereka juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani, bila tanpan melakukan sejumlah modifikasi kreatif, adalah sesuauu hal yang sangat mustahil untuk dilakukan. Padahal mereka tidak hanya mengambil satu aliran dengan menolak aliran lain yang belawanan.
Modofikasi kreatif yang dilakukan oleh para filosof Muslim ini antara lain:
1. Memunculkan term-term berbahasa Arab yang sertara maknanya dengan term-term yang digunakan dalam tradisi filsafat Yunani. Yang adalah juga disesuaikan dengan term-term yang dikenal dan dugunakan dalam terma-terma “keagamaan” (bahasa religius) dalam tradisi Islam.
2. Menyelaraskan dan mencari garis merah kesamaan antara sejumlah pemikiran filsafat Yunani yang selama dini dianggap bertentangan.

Selanjutnya bukan hanya modifikasi yang dilakukan oleh mereka, akan tetapi juga mereka melakukan suatu kerja besar, yang hanya bisa dilakuakn oleh oirang setingkat Aristoteles, yaitu melakukan pengembangan baik dalam metodelogi maupun wilayah pembicaraan (diskursus) filsafatnya. Juga telah mampu melahirkan sejumlah disiplin ilmu. Baik ilmu-ilmu yang secara langsung berhubungan dengan kepentingan dalam memahami dan mengamalkan alqur’an (ajaran Islam), maupun disiplin yang leboh banyak berhubungan dengan kepentingan-kepentingan bagi kesejahteraan masyarajat, baik kedokteran, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, astronomi, kimia, fiska, amtematika, hinga peroslan-persoalan yang berhubungan dengan seni dan teknologi lainnya.

Struktur Filsafat Islam
Pada awalnya, bisa dimaklumi, bahwa sistem pengetahuan dalam Dunia Islam belum memliki struktur yang jelas, khususnya struktur pengetahuan filsafatnya. Struktur pengetahuan ini, seperti halnya juga struktur dan sistematika pengethuan filsafat Yunani, terjadi secara alamiah. Tersusun bersamaan dengan perjalanan waktu dan kreativitas dari pra filosofnya dan ilmuwannya.
Untuk bisa melihat dan membangun struktur pengetuan filsafat Islam, bisa dilakukan denagn menginventarisis tema-tema persoalan yang menjadi temaga atau subjek garapan pemikiran mereka.
Dan untuk mengetahui tema bahasan yang mereka bahas, bisa dilakukan dengan mengetahui karya-karya yang telah mereka hasilkan. Yaitu karya yang tertulis (baik lengkap atau tidak karena persoalan usia buku dan penyimnanannya), sebagai karya yang autentik, bukti dari kreativitas mereka. Namun demikian terdapat pula persoalan yang agak rumit, karenaterlalu banyak karya-karya mereka yang hilang sehingga tidak bisa diinfentarisir secara lengkap. Diantara karya-karya yang paling banyak hilang. Diantara cara yang paling memungkinkan adalah dengan mengungkap pembagian ilmu yang dilakukan oleh para filosof sendiri.
Diantara para filosof awal, khususnya al-Kindi dan al-Farabi, sangat karya-karya berupa terjemahan dan komentar mereka terhadap para filosof Yunani, khususnya terhadap Aristoteles, Plato dan Plotinus. Dalam kesempatan ini akan dikemukakan tiga filsuf yang membahas struktur ilmu filosofis. Yang pertama adalah Abu Hasan al-Amiri, filsuf yang mencoba menggambarkan struktur ilmu yang berkembang pada abad IV Hijriyah dalam peradaban Islam. Ia tidak mengemukakan struktur yang diyakininya. Kemudian al-Farabi, dengan strukturnya sendiri yang memenangkan ilmu-ilmu filosofai. Dan terakhir, al-Ghazali yang memenangkan ilmu-ilmu religius.
Al-Farabi, dalam Ihsan’ Al-ulum, membagi pengetahuan (filsafat) pada tujuh bidang. Yaitu antara lain: (1) Linguistik, (2) Logika, (3) Matematika/ Propaedatik, (4) Fisika, thabi’iyat, (5) Metafisika, (6) Politik, dan (7) Yuridis, hukum.
Pembagian pengetahuan ini cukup unik, karena contohnya ilmu musik yang sangat terkenal dari al-Farabi dimasukan dalam cabang ilmu matematika. Dalam sistem pembagian pengetahuan ilmu-ilmu modern, musik ini merupakan cabang dari pengetuahuan humaniora , walau pun teori-teori tentang glombang dan suara dibahas dalam pengetahuan alam (fisika glombang). Al-Faribi tidak memasukkan ilmu kedokteran atau ilmu tentang makhluk-makhluk hidup dalam pembagian pengetahuan tersebut. Hal ini dimungkinkan karena al-Farabi tidak banyak berbicara dan mengulas tentang tema tersebut. Hanya satu karya yang berhubungan dengan hal tersebut, yaitu Kalam fi adha’ al-hayawan (wacana tentang Oragan-organ Binatang).
Selain logika, fisika serta bahasa yang menjadi garapan penting dari al-Farabi, Metafisika merupakan garapan yang sangat mendapat perhatiannya. Diantara karya terbesarnya adalah “Fushush al-Hikam” (permata kebijaksanaan).
Bila dibuat struktur dan bagiannya dari pembagian pengetahuan al-Farabi, dapat dibuat sebagai berikut:

A. Klasifikasi dan Struktur Ilmu Menurut Abu Hasan Al-Amiri (Wafat 381 H/992 M)
Klasifikasi dari Amiri ini berdasarkan al-Ilm bi-al-manaqib al-Islam (dalam Lampiran I) menggambarkan pertentangan yang kuat antara agama dan filsafat, atau antara logika dan bahasa (ulum hikmiyyah dan ulum milliyah). Pembagian ini merupakan gambaran penstrukturan ilmu pada abad IV H. Suatu zaman yang berisi perseteruan yang saling menyalahkan. Misalnyakaum haswiyyah menganggap ilmu-ilmu filsafat, “hanya mengandaung kata-kata melambung, berbagai penamaan indah, dihiasai pengertian sinkretis untuk menipu orang awam, yang lugu, merangsang kekaguman orang dangkal yang tak berpengalaman.” Mengikuti ungkapan ini, misalnya, beberapa ahli teologi meremehkan logika karena mereka hanya melihat di dalamnya “suatu terminologi kabur, nama-nama aneh”. Al-Amiri, walaupun membuat klasifikasi yang terpisah, mencoba untuk mengemukakan bahwa filsafat tidak seburuk yang diduga kaum haswiyyah itu. Ia mengatakan bahwa di dalam filsafat “melahirkan ajaran-ajaran yang sesuai dengan ajaran yang sesuai dengan nalar murni, yang ditegaskan dengan pembuktian yang benar sesuai dengan ajaran ilmu-ilmu agama” (hal. 87) . Dan Logika bagi Amiri adalah:
“Suatu alat rasional yang memungkinkan jiwa bernalar untuk membedakan sepenuhnya yang benar dari yang salah (haqq/batil) di dalam bidang-bidang spekulatif, yang baim dan yang buruk (khair/syarr) di dalam bidang-bidang praktis. Bagi jiwa-jiwa yang menggunakannya, logika berkedudukan sangat dekat dengan kedudukan kriteria (mi’yar) keadilan yang memungkinkan untuk menimbang berbagai pengetahuan. Logikalah yang berhenti pada pertanyaaan dan jawaban, pada sanggahan, kontradiksi dan penolakan sifistis (mugalatah). Lebih dari itu logikalah yang memungkinkan untuk menyelesaikan berbagai ketaksaan, membuka tabir sofisme (tamwihat) dan pengertian (ma`ani) lain-lain yang lazim dengan melakukan pemeriksaan kembali berbagai pernyataan. Di samping itu, logika memberikan bagi mereka yang menggunakannya, suatu kesenangan intelektual murni; jiwa jadi mempercayai sedemikian rupa pengetahuan-pengetahuan sehingga ia sendiri menjadi suatu kekuatan pengimbau ke arah pemerolehan hikmah bukan untuk mendapat pujian dari ornag lain, melainkan untuk menikmati kebahagiaan karena melalui jalan itu mencapai kebenaran dan roh yakin (ruh al-yakin) itu sendiri:”.

Pada kasus ini terlihat bagaimana ilmu agama dan filsafat dipisahkan sebagai sesuatu yang tidak saling kenal. Usaha Amiri baru pada pendamaian anggapan terhadap filsafat dan logika sebagai sesuatu yang berguna juga bagi penghayatan agama. Amiri, bagaimanapun, tidak bisa lepas dari pandangan umum masyarakat Islam abad IV H.
Struktur yang terlihat di atas memperlihatkan bagaimana ilmu-ilmu fiqh, Kalam, Hadits, dan Adab merupakan turunan dari ilmu bahasa dan tidak berkaitan dengan logika. Demikian sebaliknya, ilmu metafisika, matematika dan lainnya tidak berhubungan dengan ilmu bahasa. Inilah barangkali yang menyebabkan kecenderungan pemikiran skripturalis dalam Islam berkembang pesat atau juga struktur pengajaran di pesantren terpaku pada ilmu bahasa yang beku.

B. Klasifikasi dan Struktur Ilmu Menurut Al-Farabi (wafat 339 H/950)

Dalam Ihsha al-Ulum Al-Farabi mengemukakan klasifikasi dan perincian sebagai berikut :
I. Ilmu Bahasa yang terdiri dari:
(1) Lafal sederhana (alfadz mufradah)
(2) Lafal tersusun (alfadz murakabah)
(3) Kaidah-kaidah yang mengatur lafal sederhana
(4) Kaidah yang mengetaur lafal tersusun
(5) Penulisan yang benar
(6) Qiraat
(7) Kaidah puisi
II. Logika, terbagi dalam:
(1) Kaidah tentang aturan pengemukaan gagasan sederhana tentang pengetahuan
(2) Kaidah yang mengatur pembuatan proposisi sederhana yang tersusun dari dua atau lebih pengetahuan sederhana
(3) Kaidah silogisme
(4) Kaidah bukti demonstratif
(5) Kaidah seni dialektika dan pencarian bukti-bukti dialektis
(6) Kaidah kesalahan berpikir
(7) Seni retorika
(8) Seni puisi

III. Ilmu Matematik (ulum al-ta`alim), yang terdiri dari
(1) Aritmatika
(2) Geometri
(3) Optilka
(4) Ilmu perbintangan (Astrologi dan Astronomi)
(5) Musik
(6) Ilmu tentang berat (ilm al-atsqal)
(7) Teknik (ilm al-hiyal)

IV. Fisika

(1) prinsip benda alami
(2) prinsip unsur dan benda sederhana
(3) penciptaan dan penghancuran benda
(4) Reaksi benda-benda
(5) Sifat-sifat benda senyawa
(6) Mineral
(7) Tumbuhan
(8) Binatang, termasuk manusia

V. Metafisika, yang berkaitan dengan
(1) Wujud-wujud dan sifat-sifat esensialnya sejauh mereka adalah wujud
(2) Peinsip demonstrasi dalam ilmu-imu teoritis tertentu
(3) Wujud-wujud non-fisik mutlak

VI. Ilmu Politik, Hukum, dan teologi dialektis:
A. Ilmu Politik
(1) Kebahagiaan dan kebajikan manusia
(2) Etika dan teori politik
B. Hukum
(1) Rukun Iman
(2) Ritus-ritus, praktik religius, dan perintah moral
C. Teologi Dialektis
(1) Rukun Iman
(2) Aturan-aturan religius

Susunan ilmu yang dikemukakan Al-Farabi inimenjadikan logika dan ilmu-ilmu filosofis dikenal lebih baik dan diterima lebih meluas di kalangan kaum Muslim. Klasifikasi ini merupakan upaya untuk memunculkan pentingnya filsafat dan memunculkan superioritas ilmu filosofis tinimbang ilmu religius. Misalnya saja, al-Farabi dalam klasifikasi ini, memang memasukkan fiqh dan kalam namun dalam kitab al-Ihsa tidak dibahas secara mendalam.
Alasan pemilahan yang merendahkan ilmu religius ini adalah uji metodologis. Suatu ilmu lebih tinggi derajatnya bila memiliki metodologi yang baik. Dan uji metodologi bagi al-Farabi berarti suatu tinjauan atas logika. Karen itu bagi al-Farabi logika itu dibutuhkan bagi siapa saja yang tidak ingin mendasari keyakinannya pada opini semata-mata. Kaidah-kaidah logika, dengan demikian, dibutuhkan bagi kebenaran dan kehdandalan pengetahuan dalam ilmu.
Sekali lagi, al-Farabi menekankan superioritas ilmu filosofis dibanding dengan ilmu religius. Ilmu Ilahi al-Farabi, misalnya yang didapat dengan uji logika, dikatakan menawarkan pengetahuan meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujdu spiritual lainnya. Sedangkan kalam dan Fiqh paling-paling hanya menghasilkan derajat “mendekati keyakinan” dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual tersebut.
Lebih jauh mengenai logika sebagai dasar metodologis suatu ilmu, al-Farabi meletakkan logika sebagai penengah antara ilmu filosofis dan ilmu bahasa. Logika bukan bagian dari ilmu filosofis, logika merupakan alat atau instrumen ilmu-ilmu filosofis. Tetapi logika juga merupakan suatu ilmu. Pada posisinya sebagai ilmu inilah, ia menjadi penengah. Karena bagi pandangannya ketiganya berkaitan dengan makna tetapi dalam bentuk dan tingkat yang berbeda. Pengetahuan atau makna hal-hal yang dikaji di bawah ilmu filosofis mewujudkan diri pada tingkat ucapan batin (al-nuthq al dakhil) dan pada tingkat “yang lebih rendah” dari ungkapan kebahasaan atau ucapan lahir (al-nuthq al-kharij). Logika dihubungkan dengan kedua ucapan itu, tetapi terutama dengan jenis pertama. Ilmu kebahasaan terutama berhubungan dengan ucapan lahir.
Walaupun demikian, al-Farabi menyatakan bahwa logika dan ilmu kebahasaan adalah dua ilmu yang saling terkait erat. Dia mencatat bahwa hubungan dekat keduanya tercermin dalam bahasa Arab itu sendiri. Kata untuyk logika dalam bahas Arab, manthiq, secara etimologis berkaitan dengan kata untuk ucapan, nuthq. . Al-Farabi menganggap logika sebagai sejenis tata bahasa universal yang keabsahannya menyebar luas ke seluruh ras manusia. Dia memberi dua alasan dalam pandangannya ini. Pertama, logika berkenaan dengan pikiran atau ucapan dalam hati, yang dimiliki semua manusia. Kedua, logika hanya berminat pada lafal yang umum terdapat pada setiap bahasa segenap komunitas. Sedangkan tata bahasa, dia membicarakan gambaran yang dimiliki suatu bahasa tertentu yang juga dimiliki bahasa dari komunitas lainnya. Tetapi dia tidak mengkajinya sebagai gambaran-gambaran umum.
Hirarki Al-Farabi ini, berhasil mengemukakan filsafat sebagai pusat bagi struktur ilmu-ilmu dalam khazanah keilmuan Islam, namun sisi lain gagal meletakkan ilmu-ilmu religius dalam derajat yang sama. Misalnya kalam dan fiqh masih dianggap bagian dari bahasa dan tidak dicobakaitkan dengan logika tertentu.

C. Klasifikasi dan Struktur Ilmu Menurut Al-Ghazali (Wafat 505 H/1111 M)
Al-Ghazali membagi struktur ilmu menjadi dua bagian, Ilmu Religius dan Ilmu Intelektual. Ilmu agama adalah “ ilmu-ilmu yang diperoleh dari nabi-nabi dan tidak hadir pada mereka melalui akal, seperti aritmetika, atau melalui percobaan, seperti kedokteran, atau dengan mendengar, seperti bahasa”. Ilmu bahasa sebenarnya tidak termasuk dalam kategori ilmu agama, namun karena ia bersifat mengantarkan seseorang untuk menguasai ilmu agama maka ia dimasukkan dalam kategori ilmu agama. Sedang ilmu intelektual adalah ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek manusia semata .

I. Ilmu Religius
A. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul)
1. Ilmu Tauhid
2. Ilmu tentang Kenabian
3. Eskatologis
4. Ilmu tentang sumber pengetahuan religius, primer (al-Qur`an dan Sunnah) dan Sukunder (ijma dan atsar sahabat)
a. Ilmu pengantar atau ilmu alat: kebahasaan
b. Ilmu pelengkap yang terdiri dari:
(1) Ilmu-ilmu Qur`an, misalnya tafsir
(2) Ilmu-ilmu tentang tradisi nabi, semisal Hadits
(3) Ushul Fiqh
(4) Biografi yang berhubungan dengan nabi, sahabat dan orang terkenal
B. Ilmu tentang Cabang (furu`)
1. Ilmu tentang kewajiban manusia terhadap Tuhan (ibadah)
2. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat, terdiri dari:
a. ilmu transaksi (bisnis, keuangan dan qisas)
b. Ilmu kontraktual
3. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendirin(akhlaq)
II. Ilmu-ilmu Intelektual
A. Matematika
(1) Aritmatika
(2) Geometri
(3) Astronomi dan astrologi
(4) Musik

B. Logika
C. Fisika dan Ilmu Alam
(1) kedokteran
(2) metereologi
(3) minerologi
(4) kimia

D. Ilmu tentang Wujud di luar Alam (metafisika)
(1) ontologi
(2) pengetahuan tentang esensi, sifat dan kerja Tuhan
(3) pengetahuan tentang substansi sederhana
(4) ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian, ilmu tentang mimpi
(5) teurgi, ilmu yang menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural.

Al-Ghazali selain membedakan ilmu dalam dua bagian di atas, juga membagi ilmu dalam dua kategori kewajiban. Maksudnya, bagi al-Ghazali, ada perbedaan tingkat kewajiban untuk dikuasai antara keduanya: fardhu `ain dan fardhu kifayah.
Al-Ghazali mengemukakan bahwa seluruh ilmu-ilmu agama bersifat fardhu `ain kecuali ada beberapa yang fardhu kifayah. Antara lain (1) ilmu-ilmu tentang sumber-sumber pengetahuan religius dan (2) ilmu tenteng yusrisprudensi. Contoh lainnya yang kifayah adalah Kalam. Sedang ilmu-ilmu intelektual, bagi al-Ghazali dalam Ihya` tidak satupun yang fardhu `ain, kecuali beberapa bagian dari metafisika yang berhubungan dengan keesaaan Tuhan.
Tentang ilmu intelektual farddhu kifayah al-Ghazali menyebutkan secara ekspilisit hanya aritmatika dan kedokteran saja. Logika disebutkan secara implisit, dalam kaitannya dengan ilmu Kalam. Karena bagi al-Ghazali, logika bermanfaat bagi penalaran kalam. Dan ada juga ilmu-ilmu yang mubah, yaitu ilmu geometri, astronomi, musik, dan ilmu-ilmu fisik. Sedang ilmu tercela bagi al-Ghazali adalah astrologi.
Dari pembagian ini, dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali membagi ilmu-ilmu dalam kerangka etis. Dan juga masih memandang logika atau filsafat sebagai yang terpisah dan tak ada hubungannya dengan ilmu-ilmu agama. Paling banter, bagi al-Ghazali, logika bisa membantu ilmu kalam, dan kalam hanyalah fardhu kifayah belaka. Kerangka etis pembagian ilmu ini diperparah dengan dibaginya ilmu menjadi ilmu hushuli dan laduni. Yaitu pembagian berdasarkan cara mendapatkannya, yang pertama didapat dengan cara perolehan bersifat tak langsung, rasional, logis, dan diskursif. Sedang ilmu kedua, diperoleh secara langsung dari Tuhan, serta merta, supra-rasional, dan kontemplatif. Pembagian cara perolehan ilmu ini tidak disertai keterangan tentang mana saja dari ilmu-ilmu tersebut yang bisa diperoleh secara laduni dan atau husuhuli.

Analisis

Ketiga struktur ilmu yang dikemukakan filsuf muslim di atas telah memperlihatkan upaya penyatuan ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu non-religius. Namun penyatuan tersebut ternyata tidak diiringi dengan dialogi yang layeut antara kedua ilmu itu. Logika dan bahasa menjadi dua seteru yang saling mengalahkan dan dikalahkan. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya ilmu agama tetap menjadi ilmu yang terpisah dari kajian kritis filsafat dan sebaliknya.
Fenomena ini bagi Mohammed Arkoun, menyebabkan sejarah [emikiran Islam terjebak pada dogmatisme yang menghasilkan sejumlah muqalid besar. Walaupun, misalnya, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga pengaruh filsafa (logika rasional) pada pemikiran di luar filsafat semisal pada fiqh. Seperti munculnya karya Hukum sistematis yang dirintis al-Syafi`I (w. 204/819M) dengan rumusan tentang Ushul fiqhnya. Namun, usaha Syaf`ii ini boleh dikatakan gagal, karena ia sendiri lebih cenderung kepada kemandekan yang dogmatis. Filsafat sebagai Ulum Aqliyyah secara peyoratif dianggap sebagai ulum Dakhliyah (Ilmu-ilmu Asing) –karena datang dari luar— yang dihadapkan dengan tuan rumah Ulum Diniyyah.
Hal ini disebabkan karena, ummat Islam terkungklung dalam logosentrisme. Yang menganggap teks al-Qur`an sebagai wakil dari kehadiran Tuhan. Karena Tuhan sakral maka mushaf al-Qur`an pun suci yang tidak bisa diganggu oleh penalaran rasio manusia. Sehingga pemikiran yang berkembang cenderung membeda-bedakan, mensistematisir dan menfgkotak-kotakkan objek kajiannya. Selain itu, pemikiran demikian juga cenderung bersikap apologis, kaku, dan mengabaikan matra historis setiap karya. Akibatnya rasio (filsafat) hanya diterima sebatas pelayan bagi credo. “Nalar, dengand emikioan, menegaskan suatu keunggulan metodologis, namun itu demi membuatnya berguna bagi credo”.
Ungkapan Arkoun ini dalam sejarah pemikiran Islam terbaca ketika filsafat dikalahkan dalam oleh pemikiran jenis al-Ghazali. Ia hanya menjadi ilmu nomor dua dan tak pernah bisa mensintesa dalam pemikiran ilmu-ilmu agama. Ini berimplikasi pada pemikiran Islam yang melulu doktriner selama berabad-anad. Implikasi lainnya, kaum Muslim cenderung untuk membenarkan penafsiran kelompoknya sendiri dan mengabaikan (bahkan mencela) kelompok yang lainnya. Selain itu, kaum muslim juga tidak lagi menyadari di mana tempat wahyu Ilahi dan di mana tempat pemikiran yang merupakan hasil penafsiran atas wahyu. Akibatnya, terjadi sakralisasi atas suatu karya yang sebenarnya tidak sakral. Padahal, wahyu itu mengandung makna potensial yang terbuka, sedangkan pemaknaan yang terjelma sebagai interpretasi terhadapnya tidak lepas dari matra sosial, budaya, politik, dan sejarah, dan lainnya.
Struktur ilmu (sekaligus juga berimplikasi pada epistemologi yang terbentuk) seperti ini, yang selalu mengacu pada keabsahan transendental, telah mentelimuti pemikiran Islam. Dari sana lahirlah penyimpulan hukum syari`ah, pembagian masa sebelum/sesudah turunnya wahyu, pembagian manusia kepada Mukmin/kafir/ahl-kitab, sedangkan dunia modern (kini) tidak membutuhkan pembicaraan yang demikian karena lebih menuntut pada ilmu yang empirikal.
Karena itu, wajar jika pemikiran Islam kemudian mengalami ketertutupan. Ini terbukti dengan banyaknya apa yang disebut sebagai “yang tak terpikir” (impensable) –sesuatu yang sering luput dari perthatian para peneliti tentang Islam, karena wacana yang dipergunakan adalah wacana lama tanpa perubahan sehingga mengabaikan kemungkinan penggunaan wacana lain yang berbeda. Contoh dari “apa yang tak terpikir” itu ialah problem-problem penting filsafat yang berkembang di Barat sejak abaf ke-16. Ketika di dunia Islam tak ada lagi refleksi filsafat, problem-problem itu sama sekali tak terpikirkan. Atau, terpisahnya ilmu-ilmu agama dari ilmu-ilmu filsafat seperti dibicarakan dalam makalah ini.
Dengan demikian pembicaraan mengenai struktur baru filsafat Islam penting dilakukan, agar ilmu-ilmu dalam pemikiran Islam memiliki “ibu yang kritis” yang mengantarkan anak-anaknya pada perkembangan yang dewasa. Maksudnya, penstrukturan ini mencoba meletakkan filsafat Islam sebagai Mother of Islamic Science, sehingga seluruh ilmu dalam Islam memiliki darah kritis dan bersatu tidak saling bertentangan.
Belajar dari tiga struktur di atas, kita menemukan ketegangan sumber pengetahuan, antara wahyu sebagai sumber sakral agama dan rasio sebagai sumber metodologi ilmu-ilmu. Ketegangan itu bersumber dari logosentrisme al-Qur`an. Maka upaya pembuatan struktur baru hanya bisa dilakukan jika diawali redefinisi wahyu. Redefinisi diperlukan agar nash al-Qur`an bisa dijadikan sebagai obyek kajian ilmiah yang bisa dijamah rasio tanpa kemestian melayaninya melulu. Redefinisi ini bukan untuk melemparkan al-Qur`an sebagai barang yang tidk lagi datang dari Tuhan, namun untuk memperjelas syarat-syarat ilmiah dalam membacanya secara benar. Dengan demikian, nalar akan memiliki semacam otonomi, bahkan dalam masalah agama sekalipun.
Redefinisi ini diperlukan karena sudah lama al-Qur`an tertutup bagi penafsiran. Tidak cuma itu penafsiran yang sudah ada serta ilmu-ilmu penretanya yang dihasilkan dalam sejarah pemikiran ummat Islam pun tertutup untuk digugat. Padahal wahyu ilahi merupakan titah yang sangat luas sehingga dapat saja diberi penafsiran yang lebih kaya dan relevan bagi pemahaman manusia dalam kondisinya yang berbeda-beda.
Karena Al-Qur`an sebagai wahyu, pada dasarnya adalah fenomena lingusitik. Struktur sintaksis, semantik, dan semiotika wacana al-Qur`an menyediakan satu ruang yang demikian artikulatif untuk mengutarakan pemikiran dan isi wahyu. Wahyu dalam al-Qur`an bukan melulu monolog Tuhan yang harus diikuti tanpa peranserta manusia dan sejarahnya. Wahyu al-Qur`an berisi dialogi yang terus-menerus menuntut manusia menyertai ungkapan Tuhan. Misalnya pada penggunaan berulangkali kata “qul” (katakanlah!), mengimplikasikan sebuah dialog dalam tiga persona. Di sana terdapat (a) penutur-penulsi-pengirim (Allah), (b) penutur, penerima I yang melafalkan dengan bahasa (Nabi), dan (c) penerima II yang terakhir dari risalah (manusia, mereka). Artinya dalam kata itu ada interkasi hakiki antara Allah, alam, manusia, dan sejarah.
Jika ada interaksi hakiki antara Tuhan dan manusia (alam dan sjerahnya), maka tidaklah salah jika unsur dari diri manusia disertakan dalam pembacaan al-Qur`an, yaitu kekritisan filosofis. Dari sisi ini, kita bisa menambahkan metodologi ilmu-ilmu agama dalam pemikiran Islam yang semula melulu skripturalis (berdasarkan ilmu bahasa) menjadi bernilai kritis (dengan ilmu logika sebagai matra baru). Setelah masuknya matra baru dalam ilmu-ilmu keislaman diterima maka penstrukturan ulang filsafat Islam bisa dilakukan.
Struktur dengan matra baru itu akan disusun berdasarkan penstrukturan Francis Bacon (1561-1626). Bagi F. Bacon Filsafat meliputi tiga bidang:
1. De Numine, filsafat Ketuhanan
2. De Natura, filsafat tentang dunia tempat tinggal manusia
A. Teoritis
(1) Fisika
(2) Metafisika
B. Operativa (penerapannya)
(1) mekanika
(2) magika
3. De Homine, filsafat Manusia

Pada Struktur Bacon tersebut, terutama bagian de natura, terlihat hubungan antara ilmu terapan dengan dasar teoritis ilmu tersebut. Metodologi ini bisa diadopsi untuk menghubungkan ilmu-ilmu keislaman yang tersebar tanpa dasar filsafat ilmunya. Seperti, dakwah, fiqh, tasawuf, politik, dan sebagainya. Sehingga misalnya kita bisa meletakkan ushul Fiqh dalam kerangka teoritis dan Fiqh dalam kerangka operativa.
Namun struktur baru ini, tidak melulu mengandalkan kekritisannya pada logika saja, tetapi juga dikaitkan dengan perkembangan ilmu-ilmu modern. Sehingga struktur baru itu bertugas mendamaikan antara logika dan ilmu bahasa, namun mencoba mensintesa antara ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislaman. Arkoun, misalnya, memandang perlunya kaum Muslim mengadopsi ilmu-ilmu barat modern seperti linguistik dan semiotika, sejarah, sosiologi, antropologi, dan filsafat.