Rabu, 14 Januari 2009

FILOSOF ISLAM



Doktor GhulaTentang Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinanim Hossein Ebrahim Dinan lahir pada tahun 1313 HS atau kira-kira 72 tahun lalu di desa Dinan bagian dari propinsi Isfahan. Dii tempat kelahirannya ia menyelesaikan SD nya. Pada waktu itu, keinginannya keras sekali untuk belajar agama. Ini mengantarkannya belajar fiqih, usul fiqih, nahwu, saraf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia belajar pada Syaikh Muhammad Ali Habib Abadi dan Syaikh Abbas Ali Habib Abadi.

Beliau pada tahun pertama dari dekade 1330, 55 tahun lalu, pergi ke Qom. Di sana, secara serius ia melanjutkan pendidikannya. Di Qom, ia belajar Syarah Lum'ah, Rasail, Makasib. Begitu juga ia mengikuti bahts kharijnya di sana. Ia belajar pada Syaikh Abdul Javad Sedehi, Sulthani Thaba'taba'i, Mujahidi, Imam Khomeini, Sayyid Muhammad Damad, Ayatullah Boroujerdi dan lain-lain. Pada saat yang sama, ia juga belajar Asfar Mulla Shadra dan Syifa Ibnu Sina kepada Allamah Thaba'thaba'i. Daya tarik pelajaran Allamah membuat profesor Dinani mengikuti kelas khususnya. Dan dengan izin dari Allamah ia mengikutinya.

Pada tahun 1340, 40 tahun lalu, ia berhijrah menuju Teheran. Ia mengikuti ujian dan berhasil mengikuti kuliah di fakultas ushuluddin universitas Teheran. Di fakultas ini, ia bertemu dengan pemikir-pemikir seperti doktor Javad Muslih, Malekshahi dan Rashid memberikan mata kuliah. Pada masa-masa itu, ia diterima oleh kementrian pendidikan sebagai pegawai negeri.

Pada tahun 1350, berdasarkan usulan Syahid Murtadha Muthahhari ia mengikuti ujian untuk menjadi asisten dosen di universitas Ferdousi Mashad. Ia di dua bidang; sejarah agama dan filsafat meraih urutan pertama. Ia kemudian memilih untuk lebih banyak aktif di bagian filsafat. Pada saat yang sama ia menyelesaikan program doktornya di Teheran. Akhirnya beliau secara resmi di terima di bagian filsafat universitas Ferdousi Mashad.

Doktor Dinani pada tahun 1361 dipindahkan ke Teheran masih dalam kelompok yang sama, filsafat. Semenjak itu, ia menjadi anggota tim studi filsafat universitas Teheran. Selain di bidang filsafat punya pandangan-pandangan khusus, ia juga seorang pemikir dalam bidang irfan dan fiqih. Dan dalam dua bidang ini, ia mempunyai banyak tulisan.

Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H).

http://awaited12th.blogspot.com/2007/06/kecemerlangan-ibnu-rusyd-dalam-filsafat.html

Neoplatonisme

Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru (Neoplatonisme) adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam. Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah kaum musyrik (pagans), dan rekonsiliasinya dengan suatu agama wahyu menimbulkan masalah besar. Tapi sebagai ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M), sebetulnya Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan tentang ajaran Tauhid. Sebab Plotinus yang diperkirakan sebagai orang Mesir hulu yang mengalami Hellenisasi di kota Iskandaria itu mengajarkan konsep tentang "yang Esa" (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sabab, cause). Lebih dari itu, Plotinus dapat disebut sebagai seorang mistikus, tidak. dalam arti "irrasionalis", "occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi dalam artinya yang terbatas kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah mengalami penyatuan dengan Tuhan atau "Kenyataan Mutlak."[9] Untuk memahami sedikit lebih lanjut ajaran Plotinus kita perlu memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, Pythagoras (baru) dan kaum Stoic.

Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali" (ideas, intelligibles) dan yang bersifat "inderawi" (sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah yang sebenarnya ada (ousia), jadi juga yang abadi dan tak berubah. Termasuk diantara yang akali itu ialah konsep tentang "Yang Baik", yang berada di atas semuanya dan disebut sebagai berada di luar yang ada (beyond being, epekeina ousias). "Yang Baik" ini kemudian diidentifikasi sebagai "Yang Esa", yang tak terjangkau dan tak mungkin diketahui.

Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai hasil kerja suatu "seniman ilahi" (divine artisan, demiurge) yang menggunakan wujud kosmos yang akali sebagai model karyanya. Disamping membentuk dunia fisik, demiurge juga membentuk jiwa kosmis dan jiwa atau ruh individu yang tidak akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa individu yang immaterial dan substansial itu merupakan letak hakikatnya yang bersifat ada sejak semula (pre-existence) dan akan ada untuk selamanya (post-existence immortality), yang semuanya tunduk kepada hukum reinkarnasi.

Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin tentang Akal (nous) yang lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah yang tidak bakal mati (immortal), sedangkan wujud lainnya hanyalah "bentuk" luar, sehingga tidak mungkin mempunyai eksistensi terpisah. Aristoteles juga menerangkan bahwa "dewa tertinggi" (supreme deity) ialah Akal yang selalu merenung dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu berbeda dari kegiatan inderawi, karena obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial, adalah identik dengan tindakan Akal untuk menjangkau wujud itu.

Dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Pythagoras (baru), dan dirubahnya menjadi monisme dan berpuncak pada konsep tentang adanya Yang Esa dan serba maha (transenden). Ini melengkapi ajaran kaum Stoic yang di samping materialistik tapi juga immanenistik, yang mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan dalam alam raya.[10]

Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan menuntunnya kepada ajaran tentang tiga hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa atau Yang Baik, Akal atau Intelek, dan Jiwa.[11]

Aristotelianisme

Telah dinyatakan bahwa Neoplatonisme cukup banyak mempengaruhi falsafah Islam. Tetapi sebenarnya Neoplatonisme yang sampai ke tangan orang-orang Muslim, berbeda dengan yang sampai ke Eropa sebelumnya, yang telah tercampur dengan unsur-unsur kuat Aristotelianisme. Bahkan sebetulnya para failasuf Muslim justru memandang Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-mu'allim al-awwal), yang menunjukkan rasa hormat mereka yang amat besar, dan dengan begitu juga pengaruh Aristoteles kepada jalan pikiran para failasuf Muslim yang menonjol dalam falsafah Islam.

Neoplatonisme sendiri, sebagai gerakan, telah berhenti semenjak jatuhnya Iskandaria di tangan orang-orang Arab Muslim pada tahun 642.[12] Sebab sejak itu yang ada secara dominan ialah falsafah Islam, yang daerah pengaruhnya meliputi hampir seluruh bekas daerah Hellenisme.

Tetapi sebelum gerakan Neoplatonis itu mandeg, ia harus terlebih dahulu bergulat dan berhadapan dengan agama Kristen. Dan interaksinya dengan agama Kristen itu tidak mudah, dengan ciri pertentangan yang cukup nyata. Salah seorang tokohnya yang harus disebut di sini ialah pendeta Nestorius, patriark Konstantinopel, yang karena menganut Neoplatonisme dan melawan ajaran gereja terpaksa lari ke Syria dan akhirnya ke Jundisapur di Persia.[13]

Sebenarnya Neoplatonisme sebagai filsafat musyrik memang mendapat perlakuan yang berbeda-beda dari kalangan agama. Orang-orang Kristen zaman itu, dengan doktrin Trinitasnya, tidak mungkin luput dari memperhatikan betapa tiga hypostase Plotinus tidak sejalan, atau bertentangan dengan Trinitas Kristen. Polemik-polemik yang terjadi tentu telah mendapatkan jalannya ke penulisan. Maka orang-orang Muslim, melalui tulisan-tulisan dalam bahasa Suryani yang disalin ke Bahasa Arab, mewarisi versi neoplatonisme yang berbeda, yaitu Neo-platonisme dengan unsur kuat Aristotelianisme.[14] Menurut pelukisan F.E. Peters, mengutip kitab al-Fihrist oleh Ibn al-Nadim,

The Arab version of the arrival of the Aristotelian corpus in the Islamic world has to do with the discovery of manuseripts in a deserted house. Even if true, the story omits two very important details which may be supplied from the sequel: first, the manuseripts were certainly not written in Arabic; second, the Arabs discovered not only Aristotle but a whole series of commentators as well.[15]
(Versi Arab tentang datangnya karya-karya Aristoteles di dunia Islam ada kaitannya dengan diketemukannya naskah-naskah di suatu rumah kosong. Seandainya benarpun, kisah itu menghilangkan dua rinci penting yang bisa melengkapi jalan cerita: pertama, naskah-naskah itu pastilah tidak tertulis dalam Bahasa Arab; kedua, orang-orang Arab itu tidak hanya menemukan Aristoteles tetapi seluruh rangkaian para penafsir juga).

Ini berarti bahwa pikiran-pikiran Aristoteles yang sampai ke tangan orang-orang Muslim sudah tidak "asli" lagi, melainkan telah tercampur dengan tafsiran-tafsirannya. Karena itu, meskipun orang-orang Muslim sedemikian tinggi menghormati Aristoteles dan menamakannya "guru pertama", namun yang mereka ambil dari dia bukan hanya pikiran-pikiran dia sendiri saja, melainkan justru kebanyakan adalah pikiran, pemahaman, dan tafsiran orang lain terhadap ajaran Aristoteles. Singkatnya, memang bukan Aristoteles sendiri yang berpengaruh besar kepada falsafah dalam Islam, tetapi Aristotelianisme. Apalagi jika diingat bahwa orang-orang Muslim menerima pikiran Yunani itu lima ratus tahun setelah fase terakhir perkembangannya di Yunani sendiri, dan setelah dua ratus tahun pikiran itu digarap dan diolah oleh para pemikir Kristen Syria. Menurut Peters lebih lanjut, paham Kristen telah mencuci bersih tendensi "eksistensial" filsafat Yunani, sehingga ketika diwariskan kepada orang-orang Arab Muslim, filsafat itu menjadi lebih berorientasi pedagogik, bermetode skolastik, dan berkecenderungan logik dan metafisik. Khususnya logika Aristoteles (al-manthiq al-aristhi) sangat berpengaruh kepada pemikiran Islam melalui ilmu kalam. Karena banyak menggunakan penalaran logis menurut metodologi Aristoteles itu, maka ilmu kalam yang mulai tampak sekitar abad VIII dan menjadi menonjol pada abad IX itu disebut juga sebagai suatu versi teologi alamiah (natural theology, al-kalam al-thabi'i, sebagai bandingan al-kalam al-Qur'ani) di kalangan orang-orang Muslim.[16]

Islam, Doktrin dan Peradabanoleh Dr. Nurcholish Madjidhttp://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Falsafah2.htmlISLAM Doktrin dan PeradabanPenerbit Yayasan ParamadinaJln. Metro Pondok IndahPondok Indah Plaza I Kav. UA 20 21Jakarta Selatan

Abdullah, Amin, ‘Teologi dan Filsafat dalam Perspektif GlobalisasiE dalam Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogya, Tiara Wacana, 1998
Amien, Miska M., Epistemologi Islam, Jakarta, UI Press, 1983

Hanafi, Ahmad, Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1974
Hasan, Hasyim, Al-Asâs al-Manhajiyah, Kairo, Dar al-Fikr, tt
Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
















Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam kancah pemikiran Islam lewat terjemahan, diakui oleh banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti difahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan.
Suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles, misalnya, jelas merupakan murid Plato (427-348 SM), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula Barush Spinoza (1632-1777 M) walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M) tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri. Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filosof muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M), misalnya, walau sebagai murid Aristoteles, tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak sama dengan gurunya. Para filosof muslim secara umum hidup dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof lainnya, sehingga adalah suatu kesalahan jika kita mengabaikan pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori mereka.
Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa (1) apa yang disebut transmisi filsafat Yunani ke Arab merupakan suatu proses kompleks dimana ia sering banyak dipengaruhi oleh interpretasi-interpretasi yang diberikan melalui suatu tradisi skolastik sebelumnya, dan –-kadang kala—- dalam istilah-istilah yang sudah digunakan secara teknis dalam disiplin baru yang berkaitan dengan bahasa Arab atau Islam. Konsekuensinya, tugas rekonstruksi sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu diharapkan berbentuk suatu terjemahan yang jelas kedalam sesuatu yang dianggap asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks, dan karena itu harus direkonstruksi secara terlepas dari teks. (2) Perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari al-Kindi (801-878 M) sampai Ibn Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya bisa diapresiasikan tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut. (3) karena itu pula, presentasi karya-karya muslim secara terpisah dari faktor-faktor cultural akan menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang sering terjadi ketika batas-batas kultural sudah terlewati. Sedemikian, sehingga tidak bisa dibantah bahwa karya-karya filsafat Islam disusun berdasarkan nilai-nilai pokok agamanya dan kondisi sosial yang melingkupinya. Artinya, filsafat Islam adalah sesuatu yang berdiri sendiri, mempunyai arah, gaya, dan persoalan sendiri, tidak sekedar peralihan dari Yunani.
Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani lewat terjemahan. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap secara pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M). Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbâth) dengan istilah-istilah seperti istihsân, istishlâh, qiyâs dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbâth dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.
Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim, pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata ‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?
Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berpikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku.
Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program penterjemahan. Dalam proyek ini, hampir semua buku pasca-Socrates (470-399 M) yang berlaku di sekolah-sekolah helenisme diterjemahkan, khususnya karya-karya Aristoteles kecuali Politics, dan karya-karya Neo-Platonis, seperti Plotinus (205-270 M) dan Porphyry (232-304 M). Namun demikian, para filosof Islam rupanya lebih tertarik pada ide-ide neo-platonisme dibanding Aristoteles, setidaknya ajaran neo-platonisme lebih popular dan berkembang dalam pemikiran Islam dibanding gagasan Aristoteles yang tampaknya hanya dikaji aspek logika formalnya. Ini tampak jelas pada ajaran emanasi (faidl) al-Farabi, meski dia dijuluki sebagai tokoh paripatetik, dan juga emanasi Ibn Sina atau ajaran-ajaran sufisme sesudahnya. Menurut Nurchalis Madjid, kenyataan itu terjadi mungkin karena konsep ketuhanan neo-platonisme terkesan tauhid. Misalnya, tentang penegasan transendensi asal pertama (al-Ashl al-Awwal) atau Tuhan.
Akan tetapi, dalam perjalanan waktu, ajaran-ajaran neo-platonisme ini ternyata mendapat tantangan hebat. Al-Ghazali (1058-1111 M) yang digelari ‘argumentasi Islam’ (Hujjah al-Islâm) menyerangnya secara telak. Dalam kitabnya yang terkenal, Tahâfut al-Falâsifah, ia mengkaji secara terinci dan menyatakan bahwa metafisika dari Yunani seperti yang disampaikan al-Farabi dan Ibn Sina tidak sesuai dengan ajaran Islam dan bisa menyebabkan penganutnya menjadi kufur. Serangan tersebut diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl.
Dalam persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa al-Ghazali, setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati. Pertama, bahwa ia, sesungguhnya, hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya metafisika al-Farabi dan Ibn Sina yang neo-platonisme, tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. Sebab, dibagian lain, al-Ghazali tetap mengakui pentingnya logika atau epistemologi (bagian dari filsafat) dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashfâ fi `ulûm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani, untuk melandingkan doktrin dan gagasannya.
Kedua, bahwa tuduhan al-Ghazali terhadap doktrin al-Farabi dan Ibn Sina adalah tidak tepat. Dalam tulisannya, al-Ghazali menilai bahwa ajaran al-Farabi dan Ibn Sina, juga para filosof lain yang senada, telah jatuh dalam kekufuran, karena mengajarkan tentang keqadiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (juz’iyat). Padahal, kedua tokoh filosof muslim ini sebenarnya tidak menyatakan persis seperti yang dituduhkan. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang dimaksud dengan qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu. Apa yang disebut sebagai ‘waktu’ atau ‘zaman’ muncul bersamaan dengan alam. Tidak ada istilah waktu atau zaman sebelum munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah yang dimaksud qadim oleh para filosof. Dan keqadiman alam ini tetap tidak sama dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan qadîm bi dzatihi, qadim dengan diri-Nya sendiri tanpa berhubungan dengan ruang dan waktu atau yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya berhubungan dengan waktu tetapi ia hadits (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Disini telah terjadi salah faham atau perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang digunakan antara al-Ghazali dengan para filosof.
Ketiga, tentang penilaian al-Ghazali pada al-Farabi dan Ibn Sina dalam kaitannya dengan Aristoteles. Dalam al-Munqid, al-Ghazali membagi filsafat Yunani dalam bagian; materialisme (dahriyûn), naturalisme (thabî’iyyûn) dan theisme (ilâhiyyûn). Kelompok materialisme adalah mereka yang mengingkari Sang Pencipta (Tuhan) seraya menyatakan bahwa semesta wujud dengan sendirinya. Golongan ini dianggap sebagai tidak beragama. Ini mungkin ditujukan pada para filosof Yunani purba, seperti Thales (625-545 SM), Anaximandros (610-547 SM), Anaximenes (585-528 SM) dan Heraklitos (540-480 SM), yang pada prinsipnya menyatakan bahwa semesta ini tersusun atas unsur alam sendiri, yakni air, udara, api dan tanah, bukan oleh Sang Pencipta. Golongan naturalisme adalah mereka yang menyakini kekuatan material dan bahwa apa yang telah mati tidak akan kembali, sehingga tidak ada hari kebangkitan dan pembalasan. Ini kiranya ditujukan pada tokoh seperti Demokritos (460-360 SM) dan para filosof Ionia yang hanya menyakini eksistensi material. Kelompok theisme adalah para filosof yang lebih modern yang menyakini Sang Pencipta, seperti Socrates, Plato (427-347 SM), Aristoteles dan –-menurut al-Ghazali—- al-Farabi serta Ibn Sina sebagai pengikutnya.
Penilaian atau pengklasifikasian al-Ghazali tersebut tidak sepenuhnya benar. Betul bahwa al-Farabi adalah pengikut Aristoteles sehingga dianggap sebagai tokoh paripatetik muslim, tetapi ia agaknya hanya mengambil dan mengembangkan aspek logikanya belaka seperti yang kita lihat pada bagian epistimologi burhani. Gagasan metafisikanya yang kemudian dianggap menyimpang dari ajaran Islam oleh al-Ghazali adalah dikembangkan dari ajaran neo-platonisme, bukan dari Aristoteles. Itulah sebabnya, dikemudian hari, Ibn Rusyd (1126-1198 M) juga mengkritik bahwa al-Farabi telah menyimpang dari ajaran Aristoteles.
Akibat serangan al-Ghazali tersebut, meski tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon masyarakat muslim terhadap filsafat menjadi berkurang. Ibn Rusyd (1126-1198 M) mencoba membendung serangan al-Ghazali tersebut dan mencoba mengembalikan posisi filsafat lewat karyanya yang terkenal, Tahâfut al-Tahâfut. Akan tetapi, upaya Ibn Rusyd tidak memenuhi hasil, karena pembelaannya bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali ditujukan pada pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina yang neo-platonisme. Artinya, disini ada ketidaksambungan antara Ibn Rusyd dengan al-Ghazali, seperti antara al-Ghazali dengan al-Farabi dan Ibn Sina.
Meski demikian, kajian dan pemikiran filsafat, sesungguhnya, tidak benar-benar hilang oleh serangan al-Ghazali. Bahkan, ketika Ibn Rusyd juga tidak berhasil menghadang pengaruh al-Ghazali, filsafat Islam tetap berkembang. Apa yang dianggap sebagai kematian filsafat oleh sebagian orang hanya terjadi dikalangan sunni, khususnya Asy`ariyah. Pada bagian lain di dunia Islam, filsafat justru menemukan arah baru dan semakin membumbung tinggi. Kenyataan ini bisa dilihat dengan lahirnya gagasan-gagasan filosofis dan orisional yang disampaikan tokoh-tokoh seperti Suhrawardi (1153-1191 M) dengan ajaran isyrâqi (illuminasi), Ibn Arabi (1165-1240 M) dengan doktrin wahdat al-wujûd-nya, dan Mulla Sadra (1570-1640 M) dengan konsepnya tentang hikmah al-muta`aliyah. Ide-ide para tokoh ini bahkan melebihi prestasi filosof-filosof sebelumnya. Perbedaannya, pada masa pasca Ibn Rusyd ini pemikiran filsafat berkembang dengan cara bersatu dengan pengalaman mistik atau sufisme, sementara pada masa pra-Ghazali lebih mendasarkan diri pada kekuatan rasionalitas murni. Kenyataan inilah yang tidak diperhatikan oleh banyak sarjana dan peneliti, sehingga sebagian besar menganggap bahwa filsafat Islam telah terhenti setelah Ibn Rusyd.
Kenyataan tersebut juga terjadi pada bidang teknologi, dimana kebanyakan ahli menilai bahwa teknologi Islam telah mati sejak abad ke-12. Al-Hasan dan Donald Hill, lewat penelitiannya yang mendalam tentang ini menolak penilaian tersebut. Menurutnya, teknologi Islam tidak mati setelah setelah abad ke-11 M, bahkan juga tidak mengalami penurunan sedikitpun. Sebab, manuskrip-manuskrip teknologi justru lebih banyak dihasilkan dalam periode ini dibanding sebelumnya. Al-Hasan membagi evolosi sains dan teknologi Islam dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah periode transisi dan asimilasi yang membawa pada kelahiran sains Islam. Tahap kedua dicirikan oleh banyaknya inovasi dibidang sains, dan tahap ketiga ditandai oleh inovasi dibidang teknologi dan sains sekaligus. Tahap terakhir ini bermula pada abad ke-12 dan berakhir pada sekitar pertengahan abad ke-17 M.
Masalahnya sekarang, bagaimana membangun kreatifitas berpikir dikalangan umat sehingga mampu menelorkan gagasan-gagasan alternatif yang segar seperti yang pernah terjadi dimasa lalu? Bagaimana pula model atau sistem yang mesti dipakai guna tercapainya tujuan tersebut? Seperti dikatakan Ali Syariati, keyakinan yang benar tidak bisa tumbuh kecuali dari pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang benar tidak bisa lahir kecuali dari cara berpikir yang benar, sementara cara berpikir yang benar hanya bisa terjadi dari metode berpikir yang benar. Artinya, metodologi adalah sesuatu yang sangat penting. Siapa yang tidak menguasai metodologi berarti tidak akan mendapatkan sesuatu secara benar dan tidak akan bisa mengembangkan apa yang dimiliki.
Karena itu, upaya penumbuhan kreatifitas berpikir tersebut harus dilalui dengan pengintensifan kajian logika, metodologi atau epistemologi dari ilmu-ilmu yang berkembang. Selama ini, pendidikan Islam baik yang formal seperti IAIN atau pesantren, kurang memberikan perhatian yang cukup pada aspek-aspek ini dan lebih memperhatikan aspek sejarah atau memberikan kuliah secara instan. Dalam kajian tafsir, misalnya, mereka lebih sering bicara sejarah tafsirnya atau penafsiran para tokoh. Begitu pula dalam kajian hadis, fiqh, filsafat atau yang lain. Untuk menumbuhkan kreatifitas berpikir umat, kita harus mengurangi kajian-kajian seperti itu dan lebih menekankan aspek metodologinya. Harus lebih mengkaji ilmu tafsir daripada tafsirnya, ushûl al-fiqh daripada fiqhnya, ilmu hadis daripada hadisnya, epistimologi daripada metafisikanya, dan seterusnya. Keberhasilan para tokoh terdahulu adalah karena mereka menguasai ilmu-ilmu alat (metodologi) ini.
Selanjutnya, yang mesti menjadi perhatian adalah bahwa pandangan Islam tentang realitas sebagai objek kajian ilmu ternyata tidak hanya terpaku pada dunia empirik atau fisikal tetapi mencakup juga dunia ruh. Diri manusia sendiri adalah miniatur semesta yang tidak hanya terdiri atas jasat tetapi juga hati, perasaan, jiwa dan ruh yang merupakan ‘bagian’ dari Tuhan. Karena itu, metodologi pemikiran Islam tidak bisa hanya mengandalkan eksperimen-eksperimen lahiriyah atau hanya mengandalkan kekuatan dan kegeniusan rasuo tetapi harus dengan kesucian hati. Apapun metode yang digunakan harus didukung oleh kebersihan jiwa. Setidaknya ada dua manfaat yang bisa diperoleh dengan model penggabungan rasio dan hati ini. Pertama, agar kita tidak ikut jatuh dalam problem spiritualitas seperti manusia modern (Barat). Sebagaimana diuraikan al-Attas dan al-Faruqi dalam proyek Islamisasi ilmunya, juga para pemikir muslim lainnya, masyarakat Barat tengah dihadapkan pada krisis identitas kemanusiaan dan moral akibat hanya berpegang pada kekuatan rasio tanpa spiritual dan agama. Kedua, diharapkan akan diperoleh ide-ide lebih tinggi dari ‘alam atas’ sehingga bisa menghasilkan lompatan-lompatan besar bagi kemanusiaan. Seperti dikatakan Nasr, bagaimana metode Ibn Sina dan Ibn Arabi sampai pada teorinya yang menggemparkan, atau Suhrawardi sampai pada teorinya bahwa objek-objek materiil merupakan tingkat-tingkat cahaya, atau al-Thusi (w. 1274 M) sampai pada model planetnya yang baru, atau Ibn Haitsam (965-1039 M) pada konsep momentum yang menjadi salah satu konsep dasar fisika modern? Semua itu karena adanya keterlibatan ide-ide dari ‘alam atas’ yang diterima lewat kesucian hati atau intuisi.

WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Penerbit, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, Indonesia, 2004 khudori Sholeh






































Ahmad Gibson AB.


Pendahuluan
Kelahiran filsafat di Yunani pada perkisaran abad ke- 6-4 SM. Telah membawa arah angin peradaban yang sangat berbeda di Eropa, bahkan angin segar ini telah pula (pada abad selanjutnya) di benua lainnya. Perobahannya sangatlah radikal, dari peradaban mitologis ke peradaban rasional. Angin ini pun, walaupun tidak terlalu deras, telah menerpa Dunia Islam pada abad ke-2 setelah Rasulullah wafat.
Kelahiran filsafat ini, dianggap angin segar dalam rentang sejarah peradaban manusia, karena sebelumnya peradaban mitologis telah sedemikian lama mencengkram kehidupan manusia. Suatu sistem peradaban yang sulit untuk menjanjikan perkembangan lebih lanjut. Para ahli studi budaya budaya melihat bahwa, sisi gelap mitologi adalah ketika dilihatnya posisi manusia sebagai objek yang berada dalam bayang-bayang “penjajahan” pada Dewa. Demikian juga, manusia telah menjadi objek sejarah, bukannya subjek sejarah kehidupannya.
Pengalaman pahit sejarah ini, bagai peradaban eropa, telah menggariskan luka yang demikian parah, sehingga melahirkan “dendam” berkepanjangan. Dendam ini semakin berkarat, ketika sejarah pahit dunia Eropa terulang kembali ketika kekuasaan Gereja sebagai reinkarnasi para dewa di muka bumi, dimana mitologi berubah bentuk menjadi doktrin-doktrin gereja yang telah mencengkram dan membelenggu “kebebasan” manusia, khususnya kebebasan untuk berkreasi dan berpikir.
Warna sejarah agak lain, ketika filsafat sampai di tangan para pemikir Muslim. Filsafat. Dunia Islam bukannya menolak, bahkan sepertinya malah menemukan kekuatan ekstra dari hadirnya filsafat tersebut. Filafat di Dunia Kristiani Romawi Ortodoks telah memporak-porandakan basic keyakinan asli, sehingga berubah wajah menjadi sistem keyakinan yang berwarna Romawi klasik. Agama kewahyuan berubah menjadi doktrin-dokrin yang bernuansa mitologis.
Pertemuan antara filsafat Yunani Kalsik dengan Islam di Dunia Islam, malah seperti bertemunya dua teman lama yang telah lama tidak berjumpa. Yang paling menarik, dengan tidak merusak semangat filosofis yaitu pencarian kebenaran atau kebijaksanaan sejati (wisdom, al-hikmah), filsafat yang kemudian mewujud “filsafat Islam” malah semakin luas wilayah garapannya.
Sebagai salah satu indikasi dari produktivitas para filosof Mulis, diantaranya adalah lahirnya sejumlah “disiplin ilmu” yang cukup banyak dan mandiri. Disiplin ilmu yang tidak hanya sekedar pelebaran wilayah kajian filsafat, akan tetapi telah mampu menurunkan sistem pengetahuan tersebut dari tataran pengetahuan filsafat (sebagai produk berpikir atau aktivitas filosofis) ke tataran pengetahuan praksis. Displin ilmu yang terlahir pada masa Islam Klasik ini antara lain: Filsafat Hukum yang melahirkan prinsip-prinsip hukum serta metodologinya (ushul fiqh); Ilmu Sejarah beserta metodologinya yang kemudian digunakan secara spesifik dalam Musthalah Hadits, selain ilmu sejarah itu senidiri (Tarikh); Ilmu Kedokteran, Ilmu Kimia, Ilmu Bumi, Ilmu Antariksa atau Astronomi, matematika dan lain sebagainya. Bahkan, dalam ilmu bahasa, retorika dan logika berkembang selain ilmu-ilmu tata-bahasa, mantik ilmu penafsiran (hermenetika, interpretasi); serta ilmu-ilmu lainnya.
Dengan demikian, terjadi perkembangan yang sangat lebar dari ruang lingkup studi filsafat di tangan para pemikir Muslim, bahkan telah mampu menelorkan ilmu-ilmu lainnya sehingga membuktikan keberadaan filsafat sebagai the mother of the sciences, baik dalam ruang lingkup maupun metodologinya, yang disumbangkan Dunia Islam terhadap sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan. Lalu, secara skematis, pengetahuan apa saja sebenarnya yang telah disumbangkan ummat Islam pada masa lalu, kini dan kemungkinan perkembangan di masa yang akan datang.
Untuk bisa mengetahui hal tersebut, tampaknya perlu re-strukturisasi filsafat Islam, dan juga re-strukturisasi ilmu derivasinya.
Untuk selanjutnya, dalam makalah ini penggunaan periodisasi atau pembabakan berdasarkan waktu, sebagai karakteristik metode pembahasan kesejarahan, tidak akan digunakan. Hal ini dilakukan untuk melihat filsafat sebagai suatu sistem pengetahuan yang integral.
Pemilahan atau tepatnya klasifikasi filsafat hanya akan dilakukan, yaitu filsafat Yinani (klasik) dengan Filsafat Islam (klasik). Pemilihan ini lebih merupakan tuntutan metodologis, dalam upaya membandingkan antara Filsafat Yunan dan Filsafat Islam, dan ini pun dilakukan hanya untuk melihat kedudukan dan kontribusi Filsafat Islam dalam mengembangkan studi Filsafat.

Sistematika Filsafat Yunani (Klasik)
Filsafat Yunani (Klasik), diawali oleh lahirnya pemikiran Thales tentang alam, khususnya tentang asal mula alam semesta mengawali pengembaraan inteleknya dengan membicarakan asul-usul dan esensi serta eksistensi alam semesta (What is the nature of the wolrd stuff ?). Caranya menjawab persoalan ini sangat berbeda dengan cara mitologi menjawab. Para filosof mendasarkan jawaban terhadap karakteristik umum alam yang ditemukan dalam kehidupan yang diamatinya. Pengalaman dan pengamatan para filosof dari lingkungan yang berbeda, cenderung menghasilkan jawaban yang berbeda pula. Kesamaannya terletak pada penggunaan kekuatan rasio dalam mengungkap fenomena alam. Jawaban terhadap pertanyaan mendasar tentang alam ini dilanjutkan oleh penerusnya seperti Anaximandros, Anaximenes, Pythagoras dan yang lain, dengan kecenderungan cara pandanga yang relatif berbeda. Ada yang menekankan pada visi yang sangat naturalis ada pula yang lebih metafisis dan spiritualis seperti Anaximenes, Pythagoras, Zeno dan beberapa filosof lain sesudahnya.
Pembicaraan Filsafat Yunani ini beralih secara drastis, dari persoalan tentang materi penyusun alam ke persoalan epistemologi. Hal ini terjadi ketika persoalan kebenaran dibicarakan, sehingga muncul kelompok atau kaum Sofis. Dalam sistem filsafat Barat Modern, pemikiran mereka mirif dengan aliran filsafat skeptisisme atau relativismenya Descartes. Pusat pembicaraan telah berkembang sedemikian rupa, dari pembicaraan tentang alam beralih ke persoalan tentang pengetahuan dan manusia. Keadaan ini dipertegas oleh munculnya tokoh yang secara radikan melakukan kritik terhadap pemikiran kaum Sofis ini. Dan, Socrates menjadikan persoalan manusia sebagai titik tolak pembicaraannya. Dan ialah yang mempopulerkan adagium filosofis yang diadaftasi dari pernyataan dari seorang Delphi, yaoti pernyataan “Know your self”. Demikian, pengenalan terhadap diri menjadikan dasar perenungan filosofis yang dilakuakan Socrates.
Akumulasi dari persoalan-persoalan tentang esesnsi penyususn alam semesta (termasuk persoalan tentang gerak dan perubahan), kebenaran dan pengetahuan, serta persoalan tentang manusia, muncullah satu pertanyaan mendasar yang mengatasi seluruh persoalan tersebut. Yaitu, apa sesungguhnya hakikat dari “ada”, onthos. Persoalan ini untuk pertama kalinya dikemukakan dan dibahas oleh Plato yang mengeluarkan aliran filsafat Idealisme dan Aristoteles yang melahirkah alirasn filsafat Realisme.
Kelahiran Plato khususnya Aristoteles sepertinya telah menutup sejumlah kemungkinan pemikiran untuk berkembang, saat itu. Karena persoalan-persoalan telah sedemikian lengkap dibahas oleh mereka berdua, khususnya Aristoteles. Kemunculan Plotinus sebagai pendidir aliran Neo-Platonisme hanya melengkapi dan menyempurnakan pemikiran pendahulunya, Plato. Hal yang paling menarik dan perlu dicatat dari pemikiran Plotinus, pada upaya untuk mempertemukan pemikiran-pemikiran filsafat yang rasional sifatnya dengan doktrisn-doktrin agama, khususnya Kristiani.
Dengan demikian, bila kita strukturkan pemikiran filsafat Yunani (Klasik), dilaihat dari kecenderungan dan akar persoalan yang dibahas, dapat disistematisikan (disimpulkan) sebagi berikut:


1. Logika
a. Kategori-kategori
b. Interpretasi (penafsiran)
c. Analitika apriora
d. Analitika aposteriora
e. Topika (jadal)
2. Filsafat Alam
a. Fisika
b. Perihal Langit
c. Kelahiran dan Musnahnya Makhluk Biologis
d. Meteorologi
3. Psikologi
a. De Anima (jiwa)
b. Prisnsi-prinsip Alamiah Jiwa
i) Panca indera dan objeknya
ii) Ingatan dan pengingatan
iii) Tidur
iv) Mimpi
v) Tenung
vi) Usia
vii) Perihal kehidupan dan kematian
viii) Tentang nafas
4. Biologi
a. Anatomi binatang
b. Gerak binatang
c. Jalan binatang
d. Kejadian binatang
5. Metafisika (filsafat pertama, theologia)
6. Etika
a. Etika Nicomachae
b. Moral
7. Politik
a. Politik
b. Ekonomi
8. Retorika dan Puisi (poetica)
a. Poetika
b. Retorika

Aristoteles sebagai seorang realisme yang menggunakan metode empirismenya, telah mengawali melakukan derivasi pengetahuan filsafat yang rasional-spekulatif (teoritis) menjadi pengetahuan-pengetahuan praktis, seperti kedokteran, logika (dari filsafat berpikir menjadi seni dan metode berpikir), seni berbicara (retorika).
Diantara pemikiran para filosof Yunani (Klasik) yang terdokumentasikan hanyalah Sokrates (yang ditulis Plato), Plato dan Aristoteles, dan Plotinus (era Agama). Tema-tema yang dibahas oleh Socrates dan Plato secara garis besar juga dibicarakan oleh Aristotes (dengan metode, isi dan pemikiran yang berbeda)
Bila melihat persoalan khususnya wilayah jelajah pemikiran filsafat yang dilahirkan dari era pertama kelahiran filsafat ini, tampak bahwa sistem pengetahuan yang terbentuk dan dibangun pada umumnya masih berada dalam tataran teoris, filsafat murni, spekultatif-rasional. Baru beberapa sistem pengetahuan yang telah mewujud sebagai suatu disiplen pengetahuan praktis, emprikal.

Sejarah Filsafat Islam dan Aktivitas Filosofinya
Kultur berpikir bebas dan rasional di Dunia Islam (masyarakat Muslim) telah tumbuh semenjak masa Rasulullah. Terdapat sejumlah kondisi yang mendukung dan memungkinkan umat Islam ketika itu berpikir “bebas” dan rasional, antara lain:
1. Tuntutan dan tantangan dari al-Qur’an,
2. Perintah dan peluang yang diberikan nabi pada sejumlah sahabat dan umat Islam pada umumnya.
3. Terjadinya interaksi yang sangat dinamis dan terbuka dengan sejumlah penganut aga yang berbeda. Hal ini sangat dimungkinkan karena Makkah sebagai jalur lalulintas perdagangan (ekonomi) .

Dengan demikian secara garis besar, tuntutan berpikir bebsa dan rasional ini dalam hubungannya dengan sistem ajaran Islam secara langsung, ada dua hal, perama karena tuntutan al-Qur’an dan Nabi. Kedua, tuntutan untuk mempertahankan dan membersihkan ajaran dan akidah Islam dari serangan sistem keyakinan lainnya.
Pada perkembangan selanjutnya, perkembangan berpikir umat Islam semakin berkembang setelah Rasulullah wafat. Hal ini dikarenakan munculnya tuntutan yang semakin kuat dari persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam, sementara Rasul sudah tidak lagi berada diantara mereka.
Perkembangan pemikiran mereka semakin menemukan bentuknya yang jelas dan sistematis setelah munculnya aliran Kalam dalam islam dan masuknya pemikiran filsafat dari Yunani, terutama setelah dilakukannya penterjemahan-penterjemahan buku-buku filsafat Yunan tersebut. Tradisi berpikir rasiona, dalam berbagai aspek, semakin merebak ketika metode dan perenungan filsafat dijadikan sebagai metode dalam memahami dan memecahkan persoalan-persoalan keagamaan. Akumilasi dari aktivitas tersebut, lahirlah sejumlah disiplin ilmu dalam Islam, baik (khususnya) yang berhubungan persoalan-persoalan keagamaan, maupun yang berhubungan dengan persoalan-persoalan sosial, politik dan budaya umat Islam.
Dari catatan sejarah yang terungkan, Al-Kindi, menurupakan orang Islam pertama yang secara serisu melakukan penterjamahn-penterjemahan serta melakukan pengulasan terhadap pemikiran filsafat Yunani tersebut. Upaya ini selanjutnya diikuti dan dilakukan oleh filosuf Islam sesudahnya.
Hal yang belum pernah dilakukan oleh filosuf sebelumnya (temasuk oleh Plotinus), adalah upaya untuk mencari titik temu dan “menggabungkan” antara pemikiran Aristotelian dan Platonian, yang baik secara epistemologis maupun ontologis berbeda bahkan bertentangan. Kemampuannya ini, semakin tampak dalam melakukan “rekonsiliasi” antara filsafat, kalam dan Agama. Rekonsiliasi antara Filsafat dengan Kalam, mungkin tidak dinggap terlalu istimewa, karena dalam filsafat Yunani pun terdapat tema-pembicaraan tentang Tuhan dengan pendekatan yang tidak terlalu berbeda (rasional). Akan tetapi melakukan “rekonsiliasi” antara agama dengan filsafat (filsafat Idelaisme dan realisme yang juga, berbeda bahkan bertentangan) bukanlah hal yang mudah dan bisa dianggap sepele.
Sebagi ilustrasi, Plotinus yang mencoba melakukan rekonsiliasi antara agama (Kristiani) dengan filsafat Yunani, ia harus (hanya) menerima secara filsafat Idealismenya Plato dengan sejumlah modifikasi yang kreatif, namun harus menolak secara total filsafat Realismenya Aristoteles.
Para filosof Muslim melakukan sejumlah modifikasi dan pengambangan yang sangta kreatif terhadap pemikiran filsafat Yunani, bahkan bukan hanya pemikiran filsafat Plato dan Aristo saja akan tetapi juga dari para filosof sebelumnya, termasuk Plotinus sebagai pengukut dan pembaharu pemikiran-pemikiran Plato.
Dengan demikian, apabila aktivitas “philosophying” (berpilasafat) yang dilakukan oleh para filosof Muslim, mengingat tradisi berfisafat mereka juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani, bila tanpan melakukan sejumlah modifikasi kreatif, adalah sesuauu hal yang sangat mustahil untuk dilakukan. Padahal mereka tidak hanya mengambil satu aliran dengan menolak aliran lain yang belawanan.
Modofikasi kreatif yang dilakukan oleh para filosof Muslim ini antara lain:
1. Memunculkan term-term berbahasa Arab yang sertara maknanya dengan term-term yang digunakan dalam tradisi filsafat Yunani. Yang adalah juga disesuaikan dengan term-term yang dikenal dan dugunakan dalam terma-terma “keagamaan” (bahasa religius) dalam tradisi Islam.
2. Menyelaraskan dan mencari garis merah kesamaan antara sejumlah pemikiran filsafat Yunani yang selama dini dianggap bertentangan.

Selanjutnya bukan hanya modifikasi yang dilakukan oleh mereka, akan tetapi juga mereka melakukan suatu kerja besar, yang hanya bisa dilakuakn oleh oirang setingkat Aristoteles, yaitu melakukan pengembangan baik dalam metodelogi maupun wilayah pembicaraan (diskursus) filsafatnya. Juga telah mampu melahirkan sejumlah disiplin ilmu. Baik ilmu-ilmu yang secara langsung berhubungan dengan kepentingan dalam memahami dan mengamalkan alqur’an (ajaran Islam), maupun disiplin yang leboh banyak berhubungan dengan kepentingan-kepentingan bagi kesejahteraan masyarajat, baik kedokteran, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, astronomi, kimia, fiska, amtematika, hinga peroslan-persoalan yang berhubungan dengan seni dan teknologi lainnya.

Struktur Filsafat Islam
Pada awalnya, bisa dimaklumi, bahwa sistem pengetahuan dalam Dunia Islam belum memliki struktur yang jelas, khususnya struktur pengetahuan filsafatnya. Struktur pengetahuan ini, seperti halnya juga struktur dan sistematika pengethuan filsafat Yunani, terjadi secara alamiah. Tersusun bersamaan dengan perjalanan waktu dan kreativitas dari pra filosofnya dan ilmuwannya.
Untuk bisa melihat dan membangun struktur pengetuan filsafat Islam, bisa dilakukan denagn menginventarisis tema-tema persoalan yang menjadi temaga atau subjek garapan pemikiran mereka.
Dan untuk mengetahui tema bahasan yang mereka bahas, bisa dilakukan dengan mengetahui karya-karya yang telah mereka hasilkan. Yaitu karya yang tertulis (baik lengkap atau tidak karena persoalan usia buku dan penyimnanannya), sebagai karya yang autentik, bukti dari kreativitas mereka. Namun demikian terdapat pula persoalan yang agak rumit, karenaterlalu banyak karya-karya mereka yang hilang sehingga tidak bisa diinfentarisir secara lengkap. Diantara karya-karya yang paling banyak hilang. Diantara cara yang paling memungkinkan adalah dengan mengungkap pembagian ilmu yang dilakukan oleh para filosof sendiri.
Diantara para filosof awal, khususnya al-Kindi dan al-Farabi, sangat karya-karya berupa terjemahan dan komentar mereka terhadap para filosof Yunani, khususnya terhadap Aristoteles, Plato dan Plotinus. Dalam kesempatan ini akan dikemukakan tiga filsuf yang membahas struktur ilmu filosofis. Yang pertama adalah Abu Hasan al-Amiri, filsuf yang mencoba menggambarkan struktur ilmu yang berkembang pada abad IV Hijriyah dalam peradaban Islam. Ia tidak mengemukakan struktur yang diyakininya. Kemudian al-Farabi, dengan strukturnya sendiri yang memenangkan ilmu-ilmu filosofai. Dan terakhir, al-Ghazali yang memenangkan ilmu-ilmu religius.
Al-Farabi, dalam Ihsan’ Al-ulum, membagi pengetahuan (filsafat) pada tujuh bidang. Yaitu antara lain: (1) Linguistik, (2) Logika, (3) Matematika/ Propaedatik, (4) Fisika, thabi’iyat, (5) Metafisika, (6) Politik, dan (7) Yuridis, hukum.
Pembagian pengetahuan ini cukup unik, karena contohnya ilmu musik yang sangat terkenal dari al-Farabi dimasukan dalam cabang ilmu matematika. Dalam sistem pembagian pengetahuan ilmu-ilmu modern, musik ini merupakan cabang dari pengetuahuan humaniora , walau pun teori-teori tentang glombang dan suara dibahas dalam pengetahuan alam (fisika glombang). Al-Faribi tidak memasukkan ilmu kedokteran atau ilmu tentang makhluk-makhluk hidup dalam pembagian pengetahuan tersebut. Hal ini dimungkinkan karena al-Farabi tidak banyak berbicara dan mengulas tentang tema tersebut. Hanya satu karya yang berhubungan dengan hal tersebut, yaitu Kalam fi adha’ al-hayawan (wacana tentang Oragan-organ Binatang).
Selain logika, fisika serta bahasa yang menjadi garapan penting dari al-Farabi, Metafisika merupakan garapan yang sangat mendapat perhatiannya. Diantara karya terbesarnya adalah “Fushush al-Hikam” (permata kebijaksanaan).
Bila dibuat struktur dan bagiannya dari pembagian pengetahuan al-Farabi, dapat dibuat sebagai berikut:

A. Klasifikasi dan Struktur Ilmu Menurut Abu Hasan Al-Amiri (Wafat 381 H/992 M)
Klasifikasi dari Amiri ini berdasarkan al-Ilm bi-al-manaqib al-Islam (dalam Lampiran I) menggambarkan pertentangan yang kuat antara agama dan filsafat, atau antara logika dan bahasa (ulum hikmiyyah dan ulum milliyah). Pembagian ini merupakan gambaran penstrukturan ilmu pada abad IV H. Suatu zaman yang berisi perseteruan yang saling menyalahkan. Misalnyakaum haswiyyah menganggap ilmu-ilmu filsafat, “hanya mengandaung kata-kata melambung, berbagai penamaan indah, dihiasai pengertian sinkretis untuk menipu orang awam, yang lugu, merangsang kekaguman orang dangkal yang tak berpengalaman.” Mengikuti ungkapan ini, misalnya, beberapa ahli teologi meremehkan logika karena mereka hanya melihat di dalamnya “suatu terminologi kabur, nama-nama aneh”. Al-Amiri, walaupun membuat klasifikasi yang terpisah, mencoba untuk mengemukakan bahwa filsafat tidak seburuk yang diduga kaum haswiyyah itu. Ia mengatakan bahwa di dalam filsafat “melahirkan ajaran-ajaran yang sesuai dengan ajaran yang sesuai dengan nalar murni, yang ditegaskan dengan pembuktian yang benar sesuai dengan ajaran ilmu-ilmu agama” (hal. 87) . Dan Logika bagi Amiri adalah:
“Suatu alat rasional yang memungkinkan jiwa bernalar untuk membedakan sepenuhnya yang benar dari yang salah (haqq/batil) di dalam bidang-bidang spekulatif, yang baim dan yang buruk (khair/syarr) di dalam bidang-bidang praktis. Bagi jiwa-jiwa yang menggunakannya, logika berkedudukan sangat dekat dengan kedudukan kriteria (mi’yar) keadilan yang memungkinkan untuk menimbang berbagai pengetahuan. Logikalah yang berhenti pada pertanyaaan dan jawaban, pada sanggahan, kontradiksi dan penolakan sifistis (mugalatah). Lebih dari itu logikalah yang memungkinkan untuk menyelesaikan berbagai ketaksaan, membuka tabir sofisme (tamwihat) dan pengertian (ma`ani) lain-lain yang lazim dengan melakukan pemeriksaan kembali berbagai pernyataan. Di samping itu, logika memberikan bagi mereka yang menggunakannya, suatu kesenangan intelektual murni; jiwa jadi mempercayai sedemikian rupa pengetahuan-pengetahuan sehingga ia sendiri menjadi suatu kekuatan pengimbau ke arah pemerolehan hikmah bukan untuk mendapat pujian dari ornag lain, melainkan untuk menikmati kebahagiaan karena melalui jalan itu mencapai kebenaran dan roh yakin (ruh al-yakin) itu sendiri:”.

Pada kasus ini terlihat bagaimana ilmu agama dan filsafat dipisahkan sebagai sesuatu yang tidak saling kenal. Usaha Amiri baru pada pendamaian anggapan terhadap filsafat dan logika sebagai sesuatu yang berguna juga bagi penghayatan agama. Amiri, bagaimanapun, tidak bisa lepas dari pandangan umum masyarakat Islam abad IV H.
Struktur yang terlihat di atas memperlihatkan bagaimana ilmu-ilmu fiqh, Kalam, Hadits, dan Adab merupakan turunan dari ilmu bahasa dan tidak berkaitan dengan logika. Demikian sebaliknya, ilmu metafisika, matematika dan lainnya tidak berhubungan dengan ilmu bahasa. Inilah barangkali yang menyebabkan kecenderungan pemikiran skripturalis dalam Islam berkembang pesat atau juga struktur pengajaran di pesantren terpaku pada ilmu bahasa yang beku.

B. Klasifikasi dan Struktur Ilmu Menurut Al-Farabi (wafat 339 H/950)

Dalam Ihsha al-Ulum Al-Farabi mengemukakan klasifikasi dan perincian sebagai berikut :
I. Ilmu Bahasa yang terdiri dari:
(1) Lafal sederhana (alfadz mufradah)
(2) Lafal tersusun (alfadz murakabah)
(3) Kaidah-kaidah yang mengatur lafal sederhana
(4) Kaidah yang mengetaur lafal tersusun
(5) Penulisan yang benar
(6) Qiraat
(7) Kaidah puisi
II. Logika, terbagi dalam:
(1) Kaidah tentang aturan pengemukaan gagasan sederhana tentang pengetahuan
(2) Kaidah yang mengatur pembuatan proposisi sederhana yang tersusun dari dua atau lebih pengetahuan sederhana
(3) Kaidah silogisme
(4) Kaidah bukti demonstratif
(5) Kaidah seni dialektika dan pencarian bukti-bukti dialektis
(6) Kaidah kesalahan berpikir
(7) Seni retorika
(8) Seni puisi

III. Ilmu Matematik (ulum al-ta`alim), yang terdiri dari
(1) Aritmatika
(2) Geometri
(3) Optilka
(4) Ilmu perbintangan (Astrologi dan Astronomi)
(5) Musik
(6) Ilmu tentang berat (ilm al-atsqal)
(7) Teknik (ilm al-hiyal)

IV. Fisika

(1) prinsip benda alami
(2) prinsip unsur dan benda sederhana
(3) penciptaan dan penghancuran benda
(4) Reaksi benda-benda
(5) Sifat-sifat benda senyawa
(6) Mineral
(7) Tumbuhan
(8) Binatang, termasuk manusia

V. Metafisika, yang berkaitan dengan
(1) Wujud-wujud dan sifat-sifat esensialnya sejauh mereka adalah wujud
(2) Peinsip demonstrasi dalam ilmu-imu teoritis tertentu
(3) Wujud-wujud non-fisik mutlak

VI. Ilmu Politik, Hukum, dan teologi dialektis:
A. Ilmu Politik
(1) Kebahagiaan dan kebajikan manusia
(2) Etika dan teori politik
B. Hukum
(1) Rukun Iman
(2) Ritus-ritus, praktik religius, dan perintah moral
C. Teologi Dialektis
(1) Rukun Iman
(2) Aturan-aturan religius

Susunan ilmu yang dikemukakan Al-Farabi inimenjadikan logika dan ilmu-ilmu filosofis dikenal lebih baik dan diterima lebih meluas di kalangan kaum Muslim. Klasifikasi ini merupakan upaya untuk memunculkan pentingnya filsafat dan memunculkan superioritas ilmu filosofis tinimbang ilmu religius. Misalnya saja, al-Farabi dalam klasifikasi ini, memang memasukkan fiqh dan kalam namun dalam kitab al-Ihsa tidak dibahas secara mendalam.
Alasan pemilahan yang merendahkan ilmu religius ini adalah uji metodologis. Suatu ilmu lebih tinggi derajatnya bila memiliki metodologi yang baik. Dan uji metodologi bagi al-Farabi berarti suatu tinjauan atas logika. Karen itu bagi al-Farabi logika itu dibutuhkan bagi siapa saja yang tidak ingin mendasari keyakinannya pada opini semata-mata. Kaidah-kaidah logika, dengan demikian, dibutuhkan bagi kebenaran dan kehdandalan pengetahuan dalam ilmu.
Sekali lagi, al-Farabi menekankan superioritas ilmu filosofis dibanding dengan ilmu religius. Ilmu Ilahi al-Farabi, misalnya yang didapat dengan uji logika, dikatakan menawarkan pengetahuan meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujdu spiritual lainnya. Sedangkan kalam dan Fiqh paling-paling hanya menghasilkan derajat “mendekati keyakinan” dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual tersebut.
Lebih jauh mengenai logika sebagai dasar metodologis suatu ilmu, al-Farabi meletakkan logika sebagai penengah antara ilmu filosofis dan ilmu bahasa. Logika bukan bagian dari ilmu filosofis, logika merupakan alat atau instrumen ilmu-ilmu filosofis. Tetapi logika juga merupakan suatu ilmu. Pada posisinya sebagai ilmu inilah, ia menjadi penengah. Karena bagi pandangannya ketiganya berkaitan dengan makna tetapi dalam bentuk dan tingkat yang berbeda. Pengetahuan atau makna hal-hal yang dikaji di bawah ilmu filosofis mewujudkan diri pada tingkat ucapan batin (al-nuthq al dakhil) dan pada tingkat “yang lebih rendah” dari ungkapan kebahasaan atau ucapan lahir (al-nuthq al-kharij). Logika dihubungkan dengan kedua ucapan itu, tetapi terutama dengan jenis pertama. Ilmu kebahasaan terutama berhubungan dengan ucapan lahir.
Walaupun demikian, al-Farabi menyatakan bahwa logika dan ilmu kebahasaan adalah dua ilmu yang saling terkait erat. Dia mencatat bahwa hubungan dekat keduanya tercermin dalam bahasa Arab itu sendiri. Kata untuyk logika dalam bahas Arab, manthiq, secara etimologis berkaitan dengan kata untuk ucapan, nuthq. . Al-Farabi menganggap logika sebagai sejenis tata bahasa universal yang keabsahannya menyebar luas ke seluruh ras manusia. Dia memberi dua alasan dalam pandangannya ini. Pertama, logika berkenaan dengan pikiran atau ucapan dalam hati, yang dimiliki semua manusia. Kedua, logika hanya berminat pada lafal yang umum terdapat pada setiap bahasa segenap komunitas. Sedangkan tata bahasa, dia membicarakan gambaran yang dimiliki suatu bahasa tertentu yang juga dimiliki bahasa dari komunitas lainnya. Tetapi dia tidak mengkajinya sebagai gambaran-gambaran umum.
Hirarki Al-Farabi ini, berhasil mengemukakan filsafat sebagai pusat bagi struktur ilmu-ilmu dalam khazanah keilmuan Islam, namun sisi lain gagal meletakkan ilmu-ilmu religius dalam derajat yang sama. Misalnya kalam dan fiqh masih dianggap bagian dari bahasa dan tidak dicobakaitkan dengan logika tertentu.

C. Klasifikasi dan Struktur Ilmu Menurut Al-Ghazali (Wafat 505 H/1111 M)
Al-Ghazali membagi struktur ilmu menjadi dua bagian, Ilmu Religius dan Ilmu Intelektual. Ilmu agama adalah “ ilmu-ilmu yang diperoleh dari nabi-nabi dan tidak hadir pada mereka melalui akal, seperti aritmetika, atau melalui percobaan, seperti kedokteran, atau dengan mendengar, seperti bahasa”. Ilmu bahasa sebenarnya tidak termasuk dalam kategori ilmu agama, namun karena ia bersifat mengantarkan seseorang untuk menguasai ilmu agama maka ia dimasukkan dalam kategori ilmu agama. Sedang ilmu intelektual adalah ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek manusia semata .

I. Ilmu Religius
A. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul)
1. Ilmu Tauhid
2. Ilmu tentang Kenabian
3. Eskatologis
4. Ilmu tentang sumber pengetahuan religius, primer (al-Qur`an dan Sunnah) dan Sukunder (ijma dan atsar sahabat)
a. Ilmu pengantar atau ilmu alat: kebahasaan
b. Ilmu pelengkap yang terdiri dari:
(1) Ilmu-ilmu Qur`an, misalnya tafsir
(2) Ilmu-ilmu tentang tradisi nabi, semisal Hadits
(3) Ushul Fiqh
(4) Biografi yang berhubungan dengan nabi, sahabat dan orang terkenal
B. Ilmu tentang Cabang (furu`)
1. Ilmu tentang kewajiban manusia terhadap Tuhan (ibadah)
2. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat, terdiri dari:
a. ilmu transaksi (bisnis, keuangan dan qisas)
b. Ilmu kontraktual
3. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendirin(akhlaq)
II. Ilmu-ilmu Intelektual
A. Matematika
(1) Aritmatika
(2) Geometri
(3) Astronomi dan astrologi
(4) Musik

B. Logika
C. Fisika dan Ilmu Alam
(1) kedokteran
(2) metereologi
(3) minerologi
(4) kimia

D. Ilmu tentang Wujud di luar Alam (metafisika)
(1) ontologi
(2) pengetahuan tentang esensi, sifat dan kerja Tuhan
(3) pengetahuan tentang substansi sederhana
(4) ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian, ilmu tentang mimpi
(5) teurgi, ilmu yang menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural.

Al-Ghazali selain membedakan ilmu dalam dua bagian di atas, juga membagi ilmu dalam dua kategori kewajiban. Maksudnya, bagi al-Ghazali, ada perbedaan tingkat kewajiban untuk dikuasai antara keduanya: fardhu `ain dan fardhu kifayah.
Al-Ghazali mengemukakan bahwa seluruh ilmu-ilmu agama bersifat fardhu `ain kecuali ada beberapa yang fardhu kifayah. Antara lain (1) ilmu-ilmu tentang sumber-sumber pengetahuan religius dan (2) ilmu tenteng yusrisprudensi. Contoh lainnya yang kifayah adalah Kalam. Sedang ilmu-ilmu intelektual, bagi al-Ghazali dalam Ihya` tidak satupun yang fardhu `ain, kecuali beberapa bagian dari metafisika yang berhubungan dengan keesaaan Tuhan.
Tentang ilmu intelektual farddhu kifayah al-Ghazali menyebutkan secara ekspilisit hanya aritmatika dan kedokteran saja. Logika disebutkan secara implisit, dalam kaitannya dengan ilmu Kalam. Karena bagi al-Ghazali, logika bermanfaat bagi penalaran kalam. Dan ada juga ilmu-ilmu yang mubah, yaitu ilmu geometri, astronomi, musik, dan ilmu-ilmu fisik. Sedang ilmu tercela bagi al-Ghazali adalah astrologi.
Dari pembagian ini, dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali membagi ilmu-ilmu dalam kerangka etis. Dan juga masih memandang logika atau filsafat sebagai yang terpisah dan tak ada hubungannya dengan ilmu-ilmu agama. Paling banter, bagi al-Ghazali, logika bisa membantu ilmu kalam, dan kalam hanyalah fardhu kifayah belaka. Kerangka etis pembagian ilmu ini diperparah dengan dibaginya ilmu menjadi ilmu hushuli dan laduni. Yaitu pembagian berdasarkan cara mendapatkannya, yang pertama didapat dengan cara perolehan bersifat tak langsung, rasional, logis, dan diskursif. Sedang ilmu kedua, diperoleh secara langsung dari Tuhan, serta merta, supra-rasional, dan kontemplatif. Pembagian cara perolehan ilmu ini tidak disertai keterangan tentang mana saja dari ilmu-ilmu tersebut yang bisa diperoleh secara laduni dan atau husuhuli.

Analisis

Ketiga struktur ilmu yang dikemukakan filsuf muslim di atas telah memperlihatkan upaya penyatuan ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu non-religius. Namun penyatuan tersebut ternyata tidak diiringi dengan dialogi yang layeut antara kedua ilmu itu. Logika dan bahasa menjadi dua seteru yang saling mengalahkan dan dikalahkan. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya ilmu agama tetap menjadi ilmu yang terpisah dari kajian kritis filsafat dan sebaliknya.
Fenomena ini bagi Mohammed Arkoun, menyebabkan sejarah [emikiran Islam terjebak pada dogmatisme yang menghasilkan sejumlah muqalid besar. Walaupun, misalnya, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga pengaruh filsafa (logika rasional) pada pemikiran di luar filsafat semisal pada fiqh. Seperti munculnya karya Hukum sistematis yang dirintis al-Syafi`I (w. 204/819M) dengan rumusan tentang Ushul fiqhnya. Namun, usaha Syaf`ii ini boleh dikatakan gagal, karena ia sendiri lebih cenderung kepada kemandekan yang dogmatis. Filsafat sebagai Ulum Aqliyyah secara peyoratif dianggap sebagai ulum Dakhliyah (Ilmu-ilmu Asing) –karena datang dari luar— yang dihadapkan dengan tuan rumah Ulum Diniyyah.
Hal ini disebabkan karena, ummat Islam terkungklung dalam logosentrisme. Yang menganggap teks al-Qur`an sebagai wakil dari kehadiran Tuhan. Karena Tuhan sakral maka mushaf al-Qur`an pun suci yang tidak bisa diganggu oleh penalaran rasio manusia. Sehingga pemikiran yang berkembang cenderung membeda-bedakan, mensistematisir dan menfgkotak-kotakkan objek kajiannya. Selain itu, pemikiran demikian juga cenderung bersikap apologis, kaku, dan mengabaikan matra historis setiap karya. Akibatnya rasio (filsafat) hanya diterima sebatas pelayan bagi credo. “Nalar, dengand emikioan, menegaskan suatu keunggulan metodologis, namun itu demi membuatnya berguna bagi credo”.
Ungkapan Arkoun ini dalam sejarah pemikiran Islam terbaca ketika filsafat dikalahkan dalam oleh pemikiran jenis al-Ghazali. Ia hanya menjadi ilmu nomor dua dan tak pernah bisa mensintesa dalam pemikiran ilmu-ilmu agama. Ini berimplikasi pada pemikiran Islam yang melulu doktriner selama berabad-anad. Implikasi lainnya, kaum Muslim cenderung untuk membenarkan penafsiran kelompoknya sendiri dan mengabaikan (bahkan mencela) kelompok yang lainnya. Selain itu, kaum muslim juga tidak lagi menyadari di mana tempat wahyu Ilahi dan di mana tempat pemikiran yang merupakan hasil penafsiran atas wahyu. Akibatnya, terjadi sakralisasi atas suatu karya yang sebenarnya tidak sakral. Padahal, wahyu itu mengandung makna potensial yang terbuka, sedangkan pemaknaan yang terjelma sebagai interpretasi terhadapnya tidak lepas dari matra sosial, budaya, politik, dan sejarah, dan lainnya.
Struktur ilmu (sekaligus juga berimplikasi pada epistemologi yang terbentuk) seperti ini, yang selalu mengacu pada keabsahan transendental, telah mentelimuti pemikiran Islam. Dari sana lahirlah penyimpulan hukum syari`ah, pembagian masa sebelum/sesudah turunnya wahyu, pembagian manusia kepada Mukmin/kafir/ahl-kitab, sedangkan dunia modern (kini) tidak membutuhkan pembicaraan yang demikian karena lebih menuntut pada ilmu yang empirikal.
Karena itu, wajar jika pemikiran Islam kemudian mengalami ketertutupan. Ini terbukti dengan banyaknya apa yang disebut sebagai “yang tak terpikir” (impensable) –sesuatu yang sering luput dari perthatian para peneliti tentang Islam, karena wacana yang dipergunakan adalah wacana lama tanpa perubahan sehingga mengabaikan kemungkinan penggunaan wacana lain yang berbeda. Contoh dari “apa yang tak terpikir” itu ialah problem-problem penting filsafat yang berkembang di Barat sejak abaf ke-16. Ketika di dunia Islam tak ada lagi refleksi filsafat, problem-problem itu sama sekali tak terpikirkan. Atau, terpisahnya ilmu-ilmu agama dari ilmu-ilmu filsafat seperti dibicarakan dalam makalah ini.
Dengan demikian pembicaraan mengenai struktur baru filsafat Islam penting dilakukan, agar ilmu-ilmu dalam pemikiran Islam memiliki “ibu yang kritis” yang mengantarkan anak-anaknya pada perkembangan yang dewasa. Maksudnya, penstrukturan ini mencoba meletakkan filsafat Islam sebagai Mother of Islamic Science, sehingga seluruh ilmu dalam Islam memiliki darah kritis dan bersatu tidak saling bertentangan.
Belajar dari tiga struktur di atas, kita menemukan ketegangan sumber pengetahuan, antara wahyu sebagai sumber sakral agama dan rasio sebagai sumber metodologi ilmu-ilmu. Ketegangan itu bersumber dari logosentrisme al-Qur`an. Maka upaya pembuatan struktur baru hanya bisa dilakukan jika diawali redefinisi wahyu. Redefinisi diperlukan agar nash al-Qur`an bisa dijadikan sebagai obyek kajian ilmiah yang bisa dijamah rasio tanpa kemestian melayaninya melulu. Redefinisi ini bukan untuk melemparkan al-Qur`an sebagai barang yang tidk lagi datang dari Tuhan, namun untuk memperjelas syarat-syarat ilmiah dalam membacanya secara benar. Dengan demikian, nalar akan memiliki semacam otonomi, bahkan dalam masalah agama sekalipun.
Redefinisi ini diperlukan karena sudah lama al-Qur`an tertutup bagi penafsiran. Tidak cuma itu penafsiran yang sudah ada serta ilmu-ilmu penretanya yang dihasilkan dalam sejarah pemikiran ummat Islam pun tertutup untuk digugat. Padahal wahyu ilahi merupakan titah yang sangat luas sehingga dapat saja diberi penafsiran yang lebih kaya dan relevan bagi pemahaman manusia dalam kondisinya yang berbeda-beda.
Karena Al-Qur`an sebagai wahyu, pada dasarnya adalah fenomena lingusitik. Struktur sintaksis, semantik, dan semiotika wacana al-Qur`an menyediakan satu ruang yang demikian artikulatif untuk mengutarakan pemikiran dan isi wahyu. Wahyu dalam al-Qur`an bukan melulu monolog Tuhan yang harus diikuti tanpa peranserta manusia dan sejarahnya. Wahyu al-Qur`an berisi dialogi yang terus-menerus menuntut manusia menyertai ungkapan Tuhan. Misalnya pada penggunaan berulangkali kata “qul” (katakanlah!), mengimplikasikan sebuah dialog dalam tiga persona. Di sana terdapat (a) penutur-penulsi-pengirim (Allah), (b) penutur, penerima I yang melafalkan dengan bahasa (Nabi), dan (c) penerima II yang terakhir dari risalah (manusia, mereka). Artinya dalam kata itu ada interkasi hakiki antara Allah, alam, manusia, dan sejarah.
Jika ada interaksi hakiki antara Tuhan dan manusia (alam dan sjerahnya), maka tidaklah salah jika unsur dari diri manusia disertakan dalam pembacaan al-Qur`an, yaitu kekritisan filosofis. Dari sisi ini, kita bisa menambahkan metodologi ilmu-ilmu agama dalam pemikiran Islam yang semula melulu skripturalis (berdasarkan ilmu bahasa) menjadi bernilai kritis (dengan ilmu logika sebagai matra baru). Setelah masuknya matra baru dalam ilmu-ilmu keislaman diterima maka penstrukturan ulang filsafat Islam bisa dilakukan.
Struktur dengan matra baru itu akan disusun berdasarkan penstrukturan Francis Bacon (1561-1626). Bagi F. Bacon Filsafat meliputi tiga bidang:
1. De Numine, filsafat Ketuhanan
2. De Natura, filsafat tentang dunia tempat tinggal manusia
A. Teoritis
(1) Fisika
(2) Metafisika
B. Operativa (penerapannya)
(1) mekanika
(2) magika
3. De Homine, filsafat Manusia

Pada Struktur Bacon tersebut, terutama bagian de natura, terlihat hubungan antara ilmu terapan dengan dasar teoritis ilmu tersebut. Metodologi ini bisa diadopsi untuk menghubungkan ilmu-ilmu keislaman yang tersebar tanpa dasar filsafat ilmunya. Seperti, dakwah, fiqh, tasawuf, politik, dan sebagainya. Sehingga misalnya kita bisa meletakkan ushul Fiqh dalam kerangka teoritis dan Fiqh dalam kerangka operativa.
Namun struktur baru ini, tidak melulu mengandalkan kekritisannya pada logika saja, tetapi juga dikaitkan dengan perkembangan ilmu-ilmu modern. Sehingga struktur baru itu bertugas mendamaikan antara logika dan ilmu bahasa, namun mencoba mensintesa antara ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislaman. Arkoun, misalnya, memandang perlunya kaum Muslim mengadopsi ilmu-ilmu barat modern seperti linguistik dan semiotika, sejarah, sosiologi, antropologi, dan filsafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar