Kamis, 12 Februari 2009

KONSTRIBUSI DAKWAH

Rislah Pergerakan, Imam Hasan Al Banna, Madza ya’ni Al Intima lil Islam, Fathi Yakan, Mafahim Tarbiyah, Muhammad Abdullah Khatib


PEMBAHASAN

1.Da’wah adalah upaya manusia untuk mengubah diri dan lingkungannya melalui berbagai sarana yang ada. Da’wah tidak mengandalkan kekuatan di luar upaya manusia sebagai dasar kerjanya. Hanya saja seorang yang beriman meyakini bahwa ada kekuatan-kekuatan di luar kemanusiaannya yang mampu mempengaruhi kekuatan dirinya. Pertolongan Allah SWT akan datang seiring dengan upaya-upaya manusiawi yang dilakukan oleh orang yang beriman. Oleh karena itu ketika hijrah Rasulullah SAW meminta bantuan seorang pemandu jalan seraya mengharapkan kemudahan perjalanan dari Rabb-nya. Beliau melakukan perjalanan yang berputar dan berliku seraya mengharapkan Allah SWT menyesatkan pengejaran orang-orang kafir. Beliau bersembunyi di dalam goa sebelum Allah menutupinya dengan sarang laba-laba. Ketika berperang, Muhammad SAW dan kaumnya mempersiapkan pedang dan perbekalan seraya mengharapkan bantuan malaikat dan hujan.

2.Sesuatu harus diberikan oleh orang-orang beriman dalam perjuangan da’wahnya agar kemudahan-kemudahan da’wah datang kepadanya. Mereka tidak boleh bakhil terhadap apa saja yang dimilikinya karena pada hakekatnya kebergunaan itu hanya ada pada saat kehidupan di dunia ini. Setelah mati tidak ada sesuatu pun yang bisa diberikan oleh manusia untuk menambah timbangan kebaikannya di alam barzah kelak. Firman Allah SWT : “Adapun orang-orang yang memberi (apa saja yang dimilikinya di jalan Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (husna) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (Al Lail ayat 5 – 11). Jadi, sebesar apa pemberian (al atha) dalam da’wah maka sebesar itu pula kemudahan (al yusroo) yang akan diperoleh dari Allah dalam upaya meraih cita-cita dan tujuan-tujuan da’wah.

3.Ekuivalensi (keseimbangan) antara al atha dan al yusroo adalah sunnatullah yang tidak bisa dibantah lagi dan hal ini merupakan sebuah fenomena sejarah yang terang benderang bagi mereka yang mempelajari dan memahami Al Qur-an. Perhatikanlah nasib perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang diantara mereka saling berlomba-lomba memberikan kontribusinya dalam bentuk apapun di jalan da’wah yang mereka arungi. Perhatikan pula nasib kaum Nabi Musa AS yang hanya ingin duduk-duduk saja sementara pemimpin mereka menggadaikan badan dan nyawanya demi cita-cita da’wahnya. Firman Allah SWT : “Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari Al Qur-an) serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi ? Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib sehingga dia mengetahui (apa yang dikatakan) ? Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa ? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji ? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu) ?” (An Najm ayat 33 – 42). Terjadinya fenomena seseorang yang hanya dengan pemberian /kontribusi yang sedikit tetapi mengharap hasil yang besar menunjukkan pemahamannya yang rendah tentang nilai-nilai ajaran agama Ilahi ini.

4.Seseorang lahir ke dunia tanpa ada peranan sedikit pun dari dirinya sendiri. Ia bukanlah apa-apa sebelum kedua orang tuanya mempertemukan sperma dan sel telurnya. Ia bukanlah apa-apa sebelum Allah SWT meniupkan roh kepadanya dan memproses secara sempurna bentuk-bentuk fisiknya sehingga ia mempunyai kemampuan penghayatan, kemampuan intelektual dan kemampuan inderawi. Allah SWT juga telah membentangkan alam semesta baginya sehingga kreativitasnya mampu memberikan berbagai rezeqi kepadanya. Sesungguhnya kontribusi Allah SWT kepada manusia adalah sesuatu yang tiada terhitung (al kautsar, QS 108 : 1). Tetapi pada jiwa manusia memang terdapat unsur nafs (syahwat, QS 3 : 14) yang melahirkan rasa kepemilikan dan kecintaan atas segala sesuatu yang melekat pada dirinya, yang berada dalam genggamannya atau bahkan yang berada dalam angan-angannya. Oleh karena itu, al atha adalah bentuk al mas-uliyah (tanggungjawab) apabila dipandang dari sisi bahwa yang diberikan oleh seseorang adalah sesuatu yang sesungghnya pemberian dari Allah SWT jua. Al atha adalah bentuk at tadhiyah (pengorbanan) jika dilihat dari sisi bahwa seseorang memang mempunyai rasa kepemilikan dan kecintaan atas apa-apa yang ada di dalam genggamannya. Semakin tinggi rasa tanggung jawab dan pengorbanan seseorang akan semakin besar pula kontribusinya terhadap da’wah Islam.

5.Terdapat bermacam-macam bentuk pemberian yang dapat dilakukan oleh seseorang, diantaranya adalah al atha al fikriy (kontribusi pemikiran), al atha al maaliy (kontribusi materi), al atha an nafsiy (kontribusi jiwa), al atha al ilmiy (kontribusi ilmu), al atha al fanniy (konstribusi keahlian) dan al atha al waqtiy (kontribusi waktu).

6.Kontribusi pemikiran merupakan jiwa dari perjuangan da’wah karena nilai-nilai Islam hidup bersama hidupnya pemikiran Islam di kalangan ummat. Oleh karenanya Rasulullah SAW sangat menghargai proses ijtihad yang dilakukan para pemikir ummat Islam sebagaimana pesan yang disampaikannya kepada Mu’adz bin Jabbal ketika akan membuka wilayah Yaman. Dr. Yusuf Qardlawi menyatakan dalam Fiqhul Aulawiyat : “Yang tampak oleh saya bahwa krisis kita yang utama adalah “krisis pemikiran” (azmah fikriyah). Disana terdapat kerancuan pemahaman banyak orang tentang Islam. Kedangkalan yang nyata dalam menyadari ajaran-ajarannya serta urutan-urutannya. Mana yang paling penting, mana yang penting dan mana yang kurang penting. Ada pula yang lemah memahami keadaan masa kini dan kenyataan sekarang. Ada yang tidak mengetahui tentang “orang lain” sehingga kita jatuh pada penilaian yang terlalu “berlebihan” atau “menggampangkan”. Sementara orang lain mengerti benar siapa kita bahkan mereka dapat menyingkap kita sampai ke “tulang sumsum” kita. Bahkan ada yang tidak mengenal diri kita. Sampai hari ini kita belum mengetahui faktor-faktor kekuatan yang kita miliki dan titik-titik lemah yang ada pada kita. Kita sering membesar-besarkan sesuatu yang sepele dan menyepelekan sesuatu yang besra, baik dalam kemampuan maupun dalam aib-aib kita.”

7.Kontribusi materi merupakan kekuatan fisik dari da’wah karena ia akan menggerakkan jalannya perjuangan ini. Berbagai sarana perjuangan diperlukan dan harus diperoleh melalui penyediaan material dan finansial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar